Syekh Siti Jenar Menyatu Dengan Dzat (Ajal) Syahdan di tepi jalan perkampungan Negeri Demak, seorang lelaki paruh baya berjalan dengan tenang. Wajahnya putih memancarkan cahaya, janggut serta cambang berwarna kebiruan. Rambut dikepalanya tertutup blangkon berwarna hitam garis pinggir merah menyala, begitu juga sorban, gamis dan jubahnya dengan latar hitam bercorak merah. Lelaki paruh baya itu bertubuh sedang, berjalan tenang, lengan kanannya menggenggam tasbih seraya mulutnya komat-kamit mengumandangkan dzikir. Pada kelokan jalan sunyi yang dihiasi semak belukar dan pepohonan kanan kirinya, tiba-tiba muncul tiga orang lelaki berpakaian serba hitam dengan ikat kepala, bertubuh kekar seraya menghadang.
“Berhenti kisanak!” Lelaki bertubuh kekar dan berkumis tebal menyilangkan golok didepan dadanya. “Mengapa saya harus berhenti? Bukankah jalan ini milik Allah? Siapapun punya hak untuk menggunakannya.” ujar lelaki berjubah. “Saya tidak mengerti Allah! Pokoknya kamu harus berhenti,” ujarnya lagi.
“Saya sekarang sudah berhenti. Apa yang akan kisanak lakukan pada saya? Apakah akan menebas batang leher saya dengan golok itu?” tanya lelaki berjubah dengan tenang.
“Benar, saya akan menebas batang leher kisanak jika tidak menyerahkan uang dan emas yang kisanak miliki.” ancam lelaki berkumis. “Kenapa, kisanak mesti berbuat seperti itu jika hanya menginginkan uang dan emas. Tidakkah uang dan emas itu hanya hiasan dunia yang tidak memiliki arti hakiki bagi kisanak.” ujar lelaki berjubah. “Jangan banyak bicara, kisanak! Ayo serahkan uang dan emas pada kami, jika leher kisanak tidak mau kami penggal! Rupanya ki sanak belum mengenal saya Ki Kebo Benowo, rampok hebat di dusun ini!” ucapnya. “Saya tidak mengenal, kisanak.
Bukankah kita baru hari ini bertemu? Lalu kisanak mengancam saya untuk memenggal leher dan meminta uang dan emas. Maka untuk itu saya persilahkan jika itu keinginan kisanak. Penggalah leher saya dan …” ujar lelaki berjubah tetap tenang. “Keparat! Mampus kau!” Ki Kebo Benowo bersama ketiga temannya menerjang lelaki berjubah seraya membabatkan golok ke leher, pinggang, dan dada lawan.
Lelaki berjubah tidak bergeming melihat sambaran golok yang akan mencincang tubuhnya, tetap berdiri pada tempatnya dengan dzikir dari mulutnya terdengar pelan. Ketiga golok tidak pelak lagi menghantam sasaran. Namun tidak meninggalkan bekas sedikit pun. Golok yang dihunjamkan ke tiga rampok laksana membabat angin, tidak bisa melukai, bahkan menyentuh. “Aneh…manusiakah?” Ki Kebo Benowo, menghentikan serangan.
Seraya berdiri tegak, matanya terbelalak heran, napasnya tersengal-sengal berat. Kedua temannya melongo. “Di dunia ini tidak ada yang aneh kisanak. Bukakankah Hyiang Widi itu telah menyatu dengan kita?” ujar lelaki berjubah. “Hyiang Widi?” Ki Kebo Benowo paham. Sebab pernah mengenal agama Hindu sebelumnya. “Lalu siapakah nama kisanak?” “Saya, Syekh Siti Jenar. Kisanak, keinginan yang pertama telah saya penuhi, memenggal. Keinginan kedua uang dan emas menengoklah ke sebrang jalan.
Saya permisi.” Syekh Siti Jenar membalikan tubuhnya dan meneruskan langkah. Ki Kebo Benowo beserta ketiga temanya, lalu melirik ke sebrang jalan. Betapa tercengangnya mereka, karena melihat pohon emas dan uang. “Emas dan uang, ayo kita ambil!” ketiganya bersorak, lalu memburu sebrang jalan.
Kebo Benowo dan kedua temannya sibuk memunguti daun emas. Seluruhnya diambil dan dibungkus dengan kain. “Hahaha, kita pasti kaya dalam waktu singkat.” tawa Kebo Benowo. “Ki, tidakkah kita aneh pada kejadian ini?” tanya Loro Gempol. “Benar juga? Dia bisa menciptakan emas dan uang juga memiliki kesaktian yang sangat hebat.” Kebo Benowo membalikan tubuhnya, matanya mengintai ke tempat Syeh Siti Jenar berdiri. “E,eh, kemana orang tadi?” “O, ya? Masa dia bisa menghilang?” Loro Gempol mengerutkan dahi, tangannya garuk-garuk kepala. “Manusiakah dia? Makhluk halus?” Kebo Benowo menarik napas dalam-dalam. “Aku rasa dia manusia sakti mandraguna.
Sebaiknya kita berguru padanya agar memiliki kesaktian.” “Benar, Ki. Jika kita sudah sakti bisa menundukan semua rampok dan berada dalam perintah kita. Kalau kita sudah menguasai para rampok tentu tidak akan capek tinggal menunggu setoran.” tambah Loro Gempol. “Namun Syehk Siti Jenar menghilang? Kemana kita mesti mencari?” Lego Benongo ikut bertanya. Sedari tadi dia hanya mematung belum hilang rasa kagumnya terhadap Syeh Siti Jenar. “Kita telusuri saja jalan ini. Kemungkinan dia menuju ke pusat Kerajaan Demak,” Kebo Benowo menduga-duga.
Syehk Siti Jenar, telah sampai ke pusat Kerajaan Demak. Langkahnya yang tenang serta penuh wibawa tidak lolos dari pandangan para prajurit penjaga keamanan. “Siapakah lelaki itu?” tanya prajurit kerempeng pada temannya yang bertubuh tambun. “Wali,” jawab si Tambun tenang. “Pakaiannya mirip wali songo, tapi saya baru kali ini melihatnya. Kita perlu menanyai dan memeriksa orang yang tidak dikenal, mungkin saja dia pemberontak yang lagi menyamar.” ucap si Kerempeng penuh curiga. “Biarkan saja, siapa tahu dia sahabatnya para wali. Buktinya dia berjalan menuju mesjid.” si Tambun tetap tenang. “Meskipun demikian kita tetap harus menjalankan tugas. Ayo kita hadang dia dan tanya maksud kedatangannya!” si Kerempeng bergegas menenteng tombak dan tameng, mengejar langkah Syekh Siti Jenar.
“Berhenti, Kisanak!” teriak si Kerempeng, seraya menghadang langkah Siti Jenar dengan gagang tombak. “Kenapa kisanak menghadang saya? Bukankah saya tidak pernah mengganggu ketenangan kisanak?” tanya Syekh Siti Jenar tenang. “Meskipun demikian itu adalah tugas saya selaku prajurit Demak.” jawab si Kerempeng. “Kisanak hanyalah seorang prajurit Demak, tidak lebih hebat dari prajurit Allah. Bukakah prajurit Allah itu ada empat?” urai Syekh Siti Jenar dengan pandangan mata sejuk. “Saya tidak mengerti dengan perkataan, Kisanak?” “Bukankah jika Kisanak tidak paham akan sesuatu diharuskan bertanya.
Namun tidak semestinya kisanak menunjukan kesombongan, menepuk dada karena berkasta prajurit, dan berlaku kasar terhadap rakyat seperti saya. Padahal kisanak hanyalah prajurit biasa yang lemah tidak sehebat prajurit Allah yang empat tadi.” jelas Sekh Siti Jenar. “Perkataan kisanak semakin membingungkan saya?” si Kerempeng geleng-gelengkan kepala. “Terdengarnya kisanak semakin melantur saja.
Mana ada prajurit Allah empat, para Wali di sini tidak pernah mengajarkan seperti itu.” si Kerempeng semakin mengerutkan dahinya. “Jika para wali tidak mengajarkan, maka saya akan memberitahu kisanak…” ujar Syehk Siti Jenar tersenyum. “Saya tidak mungkin mempercai kisanak, kenal juga baru sekarang. Saya lebih percaya kepada para wali yang telah mengajarkan agama dengan baik dan bisa dipahami.” si Kerempeng garuk-garuk kepala, lalu keningnya mengkerut lagi. “Apakah kisanak mesti belajar pada orang yang sudah dikenal saja? Padahal kebenaran bisa datang dari siapa saja dan dari mana saja, baik yang sudah dikenal atau pun tidak dikenal oleh kisanak.
Karena ilmu Allah sangatlah luas, meski seluruh pohon yang ada didunia ini dijadikan penanya serta laut sebagai tintanya, tidak akan sanggup mencatat ilmu Allah. Sebab itu ilmu yang dimiliki manusia hanyalah sedikit. Seandainya kisanak berada di tepi samudra, lalu mencelupkan jari telunjuk, setelah itu diangkat kembali, maka tetes air yang menempel di ujung telunjuk itulah ilmu yang dimiliki kisanak.” terang Syekh Siti Jenar, seraya menatap si Kerempeng. “Jika demikian berarti kisanak sudah meremehkan saya.
Padahal saya tidak bisa diremehkan oleh rakyat seperti kisanak, saya prajurit Demak sudah diberi ilmu oleh para wali. Kisanak beraninya menyebut-nyebut prajurit Allah, yang tidak pernah para wali ajarkan. Kisanak telah menciptakan ajaran yang keliru!” si Kerempeng berbicara agak keras, seraya keningnya semakin mengerut kebingungan menanggapi perkataan Syeh Siti Jenar. “Kisanak tidak bisa menganggap saya keliru, jika belum paham pada perkataan tadi.” Syekh siti Jenar tetap tenang. “Ketidak pahaman kisanak yang memicu kesombongan dan kedengkian akan sesuatu. Padahal apa pun yang saya katakan bisa dibuktikan.
Prajurit Allah yang empat bisa saya datangkan dihadapan kisanak dengan keperkasaannya.” ujar Syekh Siti Jenar tersenyum tipis. “Omong kosong! Coba mana prajurit Allah yang empat tadi, buktikan jika memang ada!” si Kerempeng semakin pusing dan jengkel, giginya menggeretak. “Kisanak tidak akan kuat menghadapi empat prajurit sekaligus. Maka saya cukup datangkan satu saja, itu pun hanya sebuah pelajaran untuk kisanak.” Syekh Siti Jenar mengangkat tangan kanannya ke atas.
No comments:
Post a Comment