Lebih dari itu dia pun seakan-akan tahu masa depan yang akan terjadi. “Baik saya atau pun Ki Ageng Pengging tidak akan melarang tindakan andika, merestui pun tidak. Merestui atau pun tidak saya dan Ki Ageng Pengging adalah bagian dari taqdir andika semua.” “Lantas?” Joyo Dento bergumam, sudah kehabisan kata-kata. Sebab semua yang akan diucapkannya sudah mereka ketahui. “Jika saya sudah tahu seperti ini mungkin tidak akan berkunjung ke padepokan ini. Cukup dari kejauhan saya minta restu.” “Andika tidak perlu menyesal datang ke padepokan ini. Karena ini adalah perjalanan lahiriyah andika selaku manusia.” Syekh Siti Jenar menatap. “Sedangkan keinginan andika untuk membangkitkan kembali kekuatan Majapahit yang telah runtuh itu pun hak andika. Ki Ageng Pengging junjungan andika tidak mau terlibat bahkan memilih sebagai petani dan hidup di pedesaan itu pun bagian dari taqdir.
Ki Ageng dan saya berbuat seperti ini karena sudah tahu apa yang akan terjadi dan teralami berikutnya.” “Saya tidak paham, Syekh.” Joyo Dento Semakin menunduk. “Namun meski pun kurang paham akan semuanya. Saya tidak akan surut untuk terus berjuang bersama yang lainnya demi kembalinya kekuasaan Majapahit. Tetapi bolehkah saya mengetahui apa yang akan terjadi pada saya dan lainnya?” “Tidak hanya andika yang terbunuh. Saya dan Ki Ageng Pengging pun akan mengalami hukuman mati.” jelas Syekh Siti Jenar dengan wajah tenang. “Kenapa? Benarkah itu? Tapi tidak mungkin saya menghentikan rencana ini, Syekh?” Joyo Dento garuk-garuk kepala, dalam benaknya muncul pemikiran antara percaya dan tidak terhadap ujaran Syekh Siti Jenar. “Bukankah Syekh ini orang sakti? Tidak bisakah menghentikan taqdir itu?”
“Sudahlah! Andika tidak perlu bertanya lagi tentang taqdir. Jalani saja ambisi dan rencana semula. Jika ingin berhenti silahkan!” “Tapi tidak mungkin saya menghentikan rencana ini. Sebab kesempatan dan peluang baik seperti sekarang hanya datang satukali, mengingat dukungan penuh Kebo Benowo juga para pejuang Majapahit yang tidak menyukai bayang-bayang kekuasaan Raden Patah.” “Sudah terjawab bukan? Apa yang saya maksudkan tadi?” “Terjawab?” Joyo Dento semakin mengkerutkan dahinya. “Dento,” ujar Kebo Kenongo lirih. “Ya, Ki Ageng.” tatapan Joyo Dento penuh pertanyaan ke arah Kebo Kenongo. “Saya mohon diri, juga Syekh Siti Jenar. Niat dan rencana saya sudah bulat untuk meruntuhkan kekuasaan Raden Patah demi kembalinya kekuatan Majapahit.” lalu perlahan bangkit dari duduknya. Joyo Dento sudah meninggalkan padepokan Syekh Siti Jenar, langkahnya pelan mulai menginjak tangga paling atas, lalu ujung kakinya yang tidak lepas dari tatapannya menurun, menginjak yang berikutnya.
Hingga akhirnya habis dan kembali ke sebuah pohon yang dijadikan tempat menambat kudanya. Sejalan dengan itu benaknya terus berpikir, mencerna setiap perkataan Syekh Siti Jenar begitu pula Kebo Kenongo. “Mereka berdua seakan-akan sudah tidak peduli pada urusan duniawi dan kekuasaan. Padahal mereka memiliki kemampuan dan ilmu yang cukup tinggi. Benar benar tidak habis pikir. Masih hidup malah berpikir dihukum mati. Kenapa bisa bilang akan kena hukuman mati? Bukankah itu ucapan seorang pengecut? Belum bertindak sudah takut pada hukuman mati yang dicap sebagai pemberontak dan mengganggu kesetabilan pemerintahan. Dia juga menyebut bahwa aku akan bertemu dengan kematian artinya kegagalan. Tidak mungkin? Bukankah aku suda memiliki strategi yang cukup hebat.
Demak Bintoro sebentar lagi akan kacau dan goncang….” Joyo Dento telah berada di atas punggung kuda, lalu tangannya memegang tali kekang. Kuda pun dicambuk hingga berlari kencang meninggalkan padepokan Syekh Siti Jenar. Seiring dengan terbukanya sayap malam, yang diawali senja teramat singkat, ditandai warna langit yang memerah laksana darah peperangan. Taubah angkara yang mengundang banjir darah, hingga menciprat di atas lapisan awan putih.
“Para wali yang saya hormati, itulah alasannya kenapa pada hari ini ada persidangan.” ujar Sunan Giri. “Haruskah kita melaporkan hal ini pada Sinuhun agar langsung mengirim prajurit ke Kademangan Bintoro untuk menangkap mereka.” timpal Sunan Muria. “Menurut hemat saya, sebaiknya kita selidiki dulu.” Sunan Kalijaga memutar pandanganya, lalu beradu tatap dengan Sunan Bonang. ‘Kanjeng, terjadi juga hal yang akan menyulitkan Syekh Siti Jenar. Rasanya perjalan waktu terlalu cepat untuk hal ini.’ batinnya. ‘Benar, Kanjeng.’ Sunan Bonang membalas tatapan Sunan Kalijaga, seraya bercakap dengan batin. ‘Cepat atau lambat itulah taqdir Syekh Siti Jenar.
Namun bukan hari ini…masih ada beberapa saat..’ “Ada apa Kanjeng Sunan Bonang dan Kanjeng Sunan Kalijaga?” tatap Sunan Giri. “Maaf, Kanjeng Sunan Giri. Saya pun sependapat dengan Kanjeng Sunan Kalijaga, alangkah lebih baiknya sebelum bertindak dan melakukan penangkapan diadakan penyelidikan terlebih dahulu.” ujar Sunan Bonang. “Saya setuju, Kanjeng.” timpal Sunan Kudus. Ucapan itu diikuti oleh para wali yang sedang bersidang. “Ki Demang,” Sunan Giri memutar pandanganya ke arah Demang Bintoro. “Itulah keputusan kami selaku para wali. Semoga Ki Demang memaklumi.” “Terimakasih, Kanjeng.” Demang Bintoro mengagukan kepala, seraya menunduk hormat. “Laporan saya telah ditanggapi dan langsung dibawa ke mahkamah persidangan para wali. Serta kami sangat memaklumi sekali atas segala putusan yang telah para wali ambil. Sehingga saya pun akan melakukan penyelidikan yang lebih mendalam, mengenai ajaran Syekh Siti Jenar yang tersebar di Kademangan. Namun dalam hal ini kami bukanlah seorang ulama dan tidak terlalu paham akan ajaran Islam. Semoga bersedia kiranya para wali mengutus seorang ulama atau siapa saja yang paham betul akan ajaran Islam, sehingga dalam mengukur kesesatan ajaran yang disebarluaskan Syekh Siti Jenar tahu batasannya.”
“Baiklah, Ki Demang.” ujar Sunan Giri, seraya memutar pandangannya pada para wali dan ulama yang berkumpul dalam persidangan di dalam masjid Demak. “Mungkin tidak wali yang pergi ke kademangan. Siapakah di antara ulama yang siap melakukan tugas ini, menyertai Ki Demang?” Keadaan hening sejenak, para wali dan ulama saling tatap satu sama lain. Etah apa yang terbersit dalam benak dan pikiran mereka masing-masing, seraya mengelus dada dan menarik napas dalam-dalam.
Sepertinya dalam hati mereka ada sesuatu yang mengganjal, seandainya Syekh Siti Jenar dan pengikutnya benar-benar menyebarkan ajaran sesat dan menyesatkan, tentu saja akan mendapat hukuman yang sangat berat. Lantas yang mereka pikirkan, tegakah berbuat seperti itu? Meski disisi lain mungkin harus juga kebenaran itu ditegakan. Lalu barometer kesalahan dan kebenaran yang berlandaskan pada apa? “Adakah yang sanggup?” suara Sunan Giri memecah keheningan. “Saya kira para ulama merasa berat hati untuk menyampaikannya, Kanjeng.” Sunan Kalijaga menatap Sunan Giri. “Bagaimana jika saya saja?” “Jangan dulu, Kanjeng!” potong Sunan Giri. “Mengapa persoalan kecil ini mesti seorang yang berpangkat wali turun tangan? Jika yang lain tidak ada yang mampu saya kira barulah wali turun tangan. Masa diantara para ulama yang hadir disini tidak ada yang sanggup?” “Mohon maaf, Kanjeng Sunan Giri.” ujar Demang Bintoro. “Mungkin saya telah merepotkan yang hadir disini. Biarlah saya saja dan ahli agama yang ada di Kademangan melakukan penyelidikan ini.
Semoga ilmu dia bisa saya andalkan, sehingga kami tidak keliru memberikan laporan. Selanjutnya saya mohon diri.” tanpa menunggu perkataan lebih lanjut dari Sunan Giri Demang Bintoro bangkit dari duduknya, setelah mengucapkan salam menghilanglah dibalik pintu masjid Demak Bintoro. ‘Bukankah tidak hari ini, Kanjeng?’ batin Sunan Bonang, matanya beradu dengan tatapan Sunan Kalijaga. ‘Ya, itulah sebuah kenyataan. Itu juga ada rentang waktu dan perjalanan bagi semuanya…..’ balas batin Sunan Kalijaga. ‘Bukankah Syekh Siti Jenar juga….’ ‘Ya, saya sangat paham akan dia…’ “Baiklah, para wali yang saya hormati. Mungkin untuk tindakan selanjutnya kita menunggu penyelidikan Ki Demang Bintoro.” Sunan Giri menutup persidangan.
“Ki Benowo,” Joyo Dento duduk di atas kursi yang berada di samping Loro Gempol, tatapan matanya menyapu wajah Kebo Benowo. “Seperti yang saya duga, ternyata benar.” “Heran?” Kebo Benowo memijit keningnya. “Mengapa Syekh Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging tidak tertarik pada kekuasaan. Padahal kalau seandainnya kita berhasil meruntuhkan kekuasaan Raden Patah, sudah barang tentu mereka berdua akan mendapat kedudukan yang pantas. Disamping dukungan mereka yang sangat kita butuhkan dalam lingkaran perjuangan ini.” “Jangankan andika, Ki Benowo. Saya sendiri sangat kaget akan prilaku junjungan saya sendiri Ki Ageng Pengging.” ujar Joyo Dento. “Dia seakan-akan tidak peduli lagi pada tanah leluhurnya yang telah dikuasai Raden Patah, meski hampir ada keterkaitan darah. Namun Ki Ageng sendiri punya wewenang untuk menjadi penguasa, mengapa beliau rela berada dibawah bayang-bayang kekuasaan Raden Patah, yang seharusnnya kebalikannya.” “Mungkinkah Junjunganmu itu terpengaruh oleh ilmu Syekh Siti Jenar, sehingga dia tunduk dan setia sebagai pengikutnya?” timpal Loro Gempol.
“Janganlah andika berkata demikian, Gempol!” tatap Kebo Benowo. “Bukankah Syekh Siti Jenar juga guru kita dan telah mengajarkan ilmu yang kita pinta, sehingga memiliki kesaktian tak terbatas.” “Namun menurut hemat saya, mereka itu telah benar-benar mempelajari ilmu yang di anut Syekh Siti Jenar?” kerut Joyo Dento. “Bukankah kita juga mempelajari ilmu beliau?” tukas Loro Gempol, “Tapi kita tidak berlaku seperti mereka?” “Karena jiwa kita belum sempurna, Gempol.” “Maksud, Ki Benowo?” “Yang kita pelajari dari Syekh Siti Jenar bukanlah ilmu kebhatinan menuju jalan ma’rifat.
Tetapi yang kita pelajari dari beliau adalah ilmu kesaktian dan keduniawian, bagaimana kita menjadi perkasa dan penguasa.” terang Kebo Benowo. “Ya, benar itu, Ki Benowo.” Joyo Dento menganggukan kepala. “Meskipun saya hanya sebentar berada di padepokan Syekh Siti Jenar, sudah paham betul keadaan di sana. Mereka tidak memiliki ambisi untuk menjadi apa pun di dunia ini. Saya yakin mereka punya anggapan bahwa dunia ini tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan kebahagiaan jiwa yang sedang mereka rasakan pada saat ini.” “Tidak masuk akal!” Loro Gempol garuk-garuk kepal. “Bukankah orang menjadi sakti dan menuntut ilmu itu demi kekuasan, harta berlimpah, dan mendapatkan perempuan-perempuan cantik?” “Sudahlah, Gempol! Kita tidak perlu ambil pusing dengan mereka. Karena kita bukan mereka, mereka bukan kita. Tujuannya pun berbeda, mereka mendapatkan ilmu demi tercapainnya ma’rifat dan kemanunggalan dengan Gusti. Sedangkan bagi kita itu semua tidak mendapatkan tempat dihati, yang harus kita dapat adalah kekuasaan negeri Demak Bintoro.” tandas Kebo Benowo. “Benar, sangat jernih pemikiran andika, Ki Benowo.” Joyo Dento mengacungkan jempolnya.
Matahari senja di langit sebelah barat tampak menyipratkan warna merah, mengubah putihnya awan menjadi jingga. Seakan-akan cipratan darah di atas serpihan kain putih. Ki Bisono, Ki Donoboyo, Ki Chantulo, Ki Pringgoboyo, Ki Ageng Tingkir dan para murid lainnya menyaksikan peristiwa itu dari ketinggian tangga yang menuju padepokan Syekh Siti Jenar. “Seperti suatu pertanda, Ki Bisono?” tatap Ki Donoboyo pada rekannya. “Namun pertanda apakah gerangan jika memang itu sebuah pertanda?” Ki Bisono mengerutkan dahinya. “Saya kira itu hal biasa, Ki.” Ki Pringgoboyo seakan tidak tertarik dengan fenomena alam tersebut. “Benar,” Ki Ageng Tingkir menimpali, namun sejenak dahinya mengkerut. “Meskipun ini sebuah kejadian biasa, bahwa setiap senja matahari akan menyipratkan warna jingga? Tetapi ada hal yang aneh….” “Maksud, Ki Ageng Tingkir?” Ki Bisono menatap. “Seperti sebuah pertanda.” “Pertanda?” para murid Syekh Siti Jenar serempak bertanya, jiwa dan pikirannya terhanyut oleh perkataan Ki Ageng Tingkir. “Tafsirkanlah dengan batin, sahabatku.” Ki Ageng Tingkir kembali menatap langit jingga. Sejenak tidak lagi ada yang berbicara, lalu semuanya mengangkat kepala mendongak ke langit.
Mata dan batinnya mulai terusik untuk menoba mentafsirkan fenomena alam yang sedang terjadi. Raga mereka seakan-akan tidak merasakan hembusan angin senja itu, semuanya berdiri laksana patung. Jasad mereka sama sekali tidak bergeming dari tempatnnya berdiri, namun jiwa dan rasa menyatu bersama batin, seraya berusaha keras membuka tabir dan membaca alam. Mereka memiliki satu tujuan mencoba menafsirkan dan menterjemah ilmu hamamayu hayuning bawana, setelah berupaya memakmurkan bumi, maka jiwa menyatu dengan bumi. Sukma meresap dengan alam, batin menembus setiap serpih dan gerak, yang ada di alam raya.
Pertautan antara alam raya dan ruh. “Ya, rasanya ini benar, Ki Ageng Tingkir.” Ki Bisono memecah keheningan. “Begitu juga yang saya rasakan, Ki Bisono.” Ki Ageng Tingkir menarik napas dalam-dalam, jasadnya mulai merasakan lagi semilir angin pegunungan. Pertautan jiwa dengan alam telah kembali pada raganya masing-masing.
“Meskipun kita bisa merasakan belumlah bisa mentafsirkan tentang pesan yang alam sampaikan.” tambah Ki Ageng Tingkir. “Benar, Ki Ageng Tingkir.” Ki Chantulo menarik napas dalam-dalam. “Meski sukma kita sanggup berkomunikasi dengan alam, bertaut, dan bergumul. Rasanya sulit untuk meterjemah dan menafsirkan sabda alam?” “Padahal kita tahu maksud alam dengan kabaran dan berita yang dibawanya?” tambah Ki Donoboyo, “…itu sebuah pertanda buruk. Namun dalam hal ini kita sangat kesulitan untuk mengurai pesan tadi.” “Meski kita tidak bisa mengurai pesan yang disampaikan alam, yang penting kita paham pada pesan yang disampaikannya.” tukas Ki Bisono, “Disamping kita pun sudah sanggup mengamalkan ilmu hamamayuning bawana yang diajarkan Syekh Siti Jenar.
Kekurangan kita kembali pada diri kita sendiri, karena tahapan kita belumlah bisa menyamai guru kita Syekh Siti Jenar.” “Ya, walau pun beliau sangat murah hati untuk memberikan ilmu apa saja yang kita pinta.” tambah Ki Ageng Tingkir, mulai melangkahkan kaki pelan, disampingnya Ki Bisono dan Ki Chantulo, yang lainnya mengikuti dibelakang. “Hanya kita yang menerimanya ternyata berat untuk mengamalkan dan menguasainya, meski pun kita secara bertahap dan berangsur-angsur sanggup menggenggamnya.” “Tidak ada salah, Ki Ageng Tingkir. Jika sekalian dalam pertemuan hari ini di aula padepokan fenomena alam yang kita lihat tadi, juga pesannya kita kemukakan kepada Syekh Siti Jenar.” ujar Ki Donoboyo. “Saya setuju, Ki.” Ki Chantulo mengangguk seraya mengacungkan ibu jarinya. “Saya juga.” begitu pun Ki Pringgoboyo dan yang lainnya menyetujui, seiring dengan langkah kakinya yang dipercepat menuju aula padepokan.
Matahari semakin merendah, perlahan menyelinap di balik punggung gunung dengan warnanya yang semakin memerah. Para murid Syekh Siti Jenar satu persatu mulai memasuki aula padepokan, dan mengambil tempat duduk masing-masing bersila di atas tikar pandan yang terhampar. “Sebentar lagi senja berganti malam.” ujar Syekh Siti Jenar, matanya menyapu setiap wajah yang duduk bersila memenuhi aula padepokan. “…warna jingga, merah darah yang menciprat di antara serpihan awan pun akan hilang…semuanya ditelan gelap malam. Tanpa cahaya, tanpa ada redup, tanpa ada remang, sama sekali dalam gelap tidak akan pernah ada yang terlihat setitik bentuk pun. Kecuali hanya warna pekat yang disebut gelap gulita.” “Sungguh hebat beliau, Ki Ageng Tingkir?” Ki Bisono berbisik pada Ki Ageng Tingkir yang duduk disampingnya.
“Benar, Ki Bisono. Baru saja kita akan bertanya tentang sabda alam dan pesannya, beliau sudah mengawali kalimat dengan yang akan kita tanyakan.” bisik Ki Ageng Tingkir, “Syekh Siti Jenar benar-benar waspada permana tinggal.” berdecak kagum. “Hamamayu hayuning bawana, yang telah andika amalkan belumlah cukup. Sehingga alam pun tidak utuh memberikan sabdanya, namun meskipun demikian andika telah sanggup menyatu dengan alam meski belum sempurna.” Syekh Siti Jenar memutar tasbih dengan tangan kirinya sambil duduk bersila, sorot matanya yang penuh wibawa seakan-akan sanggup menembus relung hati para muridnya.
Bibirnya selalu meluncurkan dzikir, istigfar, dan takbir pada setiap sela-sela perhentian bicara. “Namun tidaklah terlalu jauh, hanya tinggal satu tingkat lagi. Akhirnya andika pun akan sampai pada tingkat penyatuan dengan alam. Ketika ingin menyatu dengan setiap heningnya malam, tetesnya embun, semilirnya angin, jingganya matahari, bukan soal yang berat. Andika semua akan bisa mencapai tahapan tadi, hanya tinggal selangkah.” “Benar, Syekh.” Ki Bisono menganggukan kepala. “Namun sesungguhnya kami telah berada pada tahap rahmatan lil alaminkah atau belum, Syekh?” “Andika sebetulnya tidak harus mendapat penilaian dariku.” tatapan Syekh Siti Jenar menyapu wajah Ki Bisono yang langsung menunduk, tidak sanggup beradu tatap. “Biarlah Allah SWT. yang memberikan penilaian. Namun dalam hal ini saya hanya memberikan barometer bagi andika tentang rahmatan lil alamin atau hamamayu hayuning bawana.” “Saya pun berpikir, Syekh. Sudahkah saya ini menjadi manusia yang telah memberikan rahmat bagi alam.” Ki Bisono mengerutkan dahinya, “…atau mungkin sebaliknya hanya menjadi laknatan lil alamin.
Padahal banyak orang bilang jika dirinya sedang menebarkan rahmatan lil alamin, tetapi dalam kenyataannya mereka malah menciptakan sebuah keruksakan dan kehancuran.” “Benar, Syekh. Seperti yang dikatakan Ki Bisono, kebanyakan orang seperti itu, antara ucapan dan perbuatannya kontroversi.” tambah Ki Chantulo. “Andika tidak harus membicarakan orang lain.” Syekh Siti Jenar menghela napas dalam-dalam, “Biarlah mereka seperti itu, karena mereka berbuat demikian maka hasilnya pun akan mereka tuai pula. Namun sebaliknya, meski pun kita berusaha mengamalkan hamamayu hayuning bawana, tidaklah selalu menuai hasil baik….” “Maksud, Syekh?” para murid Syekh Siti Jenar serempak bertanya dan terkejut.
“Tidakkah andika melihat sabda alam tadi?” Syekh Siti Jenar membelokkan tatapannya melalui jendela padepokan ke arah mentari yang hampir menghilang di balik punggung gunung. “Alam memberikan pesan berdarah?” “Saya belum paham?” Ki Chantulo garuk-garuk kepala. “Artinya berujung pada kematian. Namun andika jangan takut akan kematian, sebab cepat atau pun lambat pasti akan datang.” Syekh Siti Jenar menyapu wajah murid-muridnya dengan tatapan mata tenang dan penuh wibawa, “Makanya saya ajarkan hamamayu hayuning bawana, agar memudahkan jiwa ini menyatu dengan alam dan kembali padanya. Orang takut akan kematian karena mereka menduga bahwa mati itu sangat sakit dan mengerikan.
Padahal itu semua tidak benar, mereka yang merasakan sakit akan mati karena sebuah ketakutan dan ketidaksiapan. Padahal kapan pun dan dimana pun kita bisa menemuinya. Tidak harus sakit atau menyakiti. Hal mati itu sangatlah nikmat dan menyenangkan. Karena kematian itu sesungguhnya menyatunya kembali jiwa kita pada dzat sebelumnya. Bukankah ketika kita belum lahir ke dunia ini, apalagi belum beranjak menjadi manusia dewasa yang mengerti baik dan buruk, ilmu dan akal, miskin dan kaya, senang dan duka, bukankah hal itu tidak pernah kita rasakan sebelumnya? Itulah karena kita berada dalam dzatnya, yang teramat tentram dan tidak terusik oleh sesuatu dan apa pun.” urainya. “Bukankah kematian itu banyak orang yang tidak mengharapkannya?” ujar Ki Pringgoboyo. “Ya,” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak, “Karena mereka tidak paham dan mengerti akan kematian.” “Mungkin mereka takut mati karena terlalu sayang pada istri, anak-anak, dan jabatannya?” Ki Bisono angkat bicara, “Sehingga dirinya diliputi rasa takut akan meninggalkan orang-orang yang dicintainya, serta harta benda dan kedudukannya.
Akhirnya mati itu dibuatnya menjadi sesuatu yang menakutkan dan menyakitkan, Syekh.” “Andika tidak salah, Ki Bisono.” Syekh Siti Jenar menyapa wajah Ki Bisono dengan sorot matanya yang teduh dan tenang. “Terlalu mencintai kehidupan duniawi, yang bersifat fana dan sejenak. Lalu mereka lupa pada kehidupan hakiki, kehidupan yang sesungguhnya, setelah melewati pintu mati. Padahal kematian itu hanyalah sebuah pintu menuju keabadian yang didalamnya bisa berbalut dengan kenikmatan, penderitaan, kesedihan, tawa, duka, nestapa, itu semua tergantung kita menanamnya pada kehidupan sebelumnya, yaitu di dunia ini. Hasil pekerjaan apa pun yang pernah kita perbuat di dunia fana ini akan kembali kita tuai dan nikmati di alam sana.
Bisa bermacam-macam. Namun bagi kita yang mempelajari hamamayu hayuning bawana tidaklah seperti itu. Apalagi kematian itu bukanlah suatu hal yang menakutkan apalagi menyakitkan, tetapi kematian itu sesuatu yang teramat indah dan menyenangkan. Jika mereka tidak bisa menemui ajal kapan pun dan dimana pun, tetapi kita sebaliknya.” “Bisakah kita menentukan ajal sendiri? Setidaknya mengetahui datangnya ajal?” tanya Ki Bisono. “Tentu saja. Karena kita berbeda dengan orang kebanyakan yang tidak mengetahui sama sekali akan ilmu hamamayu hayuning bawana.” Syekh Siti Jenar menghela napas sejenak, “Bukankah telah saya katakan bahwa ketika kita berada pada tahapan ma’rifat semuanya menjadi tampak. Lalu kita berada dalam akrab. Setelah itu barulah manunggaling kawula gusti.” “Ya, saya telah merasakannya pada tahapan ma’rifat. Semuanya jadi tampak, tetapi saya kesulitan menuju tahapan akrab dan manunggaling kawula gusti.” Kebo Kenongo berucap, “Meski pun demikian saya sedang berupaya menuju ke tahap yang ingin saya capai.”
Bersambung
No comments:
Post a Comment