Friday, September 28, 2018

Syeh sitijenar vs walisongo bagian 10

Namun kita makluk yang memiliki jasad, janganlah menyiksa dan memenjarakan kebutuhannya.” “Saya paham, Syekh.” Kebo Kenongo mengangguk. “Ma’rifat itu seakan kita berada di atas ketinggian dan bisa mencapai ke segala arah, menyentuhnya, merubahnya, menikmatinya, merasakannya….” “Lanjutkanlah, sempurnakanlah ma’rifat itu…..” Syekh Siti Jenar melangkah pelan. “Syekh,” rintih Loro Gempol, baru berani mendekat. “Sembuhkanlah dada saya yang terasa sakit dan sesak.” “Andika mendapat tendangan petir geni dari Ki Sakawarki. Tentu saja akan terasa sesak dan panas….” Syekh Siti Jenar hanya dengan tatapan matanya, mengobati rasa sakit yang di derita Loro Gempol. “Terimakasih, Syekh.” Loro Gempol dengan penuh hormat mencium kaki Syekh Siti Jenar. “Saya sudah kembali pulih. Syekh, benar-benar sakti. Bisakah semua ilmu yang Syekh miliki diturunkan pada saya?” “Jika andika mau,” Syekh Siti Jenar mengangkat bahu Loro Gempol agar tidak lagi mencium kakinya. “….dan sanggup menjalaninya.” “Tidak bisakah jika ilmu kesaktian Syekh langsung diturunkan pada saya?” “Ilmu kanuragan sangat mudah diturunkan! Namun untuk mencapai tahapan ma’rifat perdalamlah sendiri, saya hanya memberi petunjuk.” “Baiklah, kalau ilmu ma’rifat lain kali saja. Sekarang turunkanlah ilmu menendang yang lebih hebat dari Ki Sakawarki.” “Pulanglah! Ilmu itu sudah andika miliki.” “Benarkah itu, Syekh?” “Tendanglah batu padas itu!” Syekh Siti Jenar mengarahkan telunjuknya pada batu padas yang seukuran tubuh kerbau. Terletak di halaman padepokan.

“Hiattttt!” Loro Gempol loncat, tendangannya menghantam batu. Tidak pelak lagi, hancurlah berkeping-keping. “Terimaksih, Syekh. Akhirnya saya bisa mebalas Ki Sakawarki. Sekarang juga saya mohon pamit.” “Gempol….Gempol…” Kebo Kenongo hanya menggelengkan kepala menyaksikan Loro Gempol dan Kebo Benowo, yang sudah turun dari padepokan Syekh Siti Jenar. Hingga lenyap ditelan ketinggian. “Masih ada orang seperti dia? Kenapa pula Syekh memberikan ilmu dengan mudah kepada mereka?” “Tidak sepantasnya kita sebagai makhluk Allah menyembunyikan ilmu.” Syekh Siti Jenar menyapu wajah Kebo Kenongo dengan tatapan matanya. “Jika itu dilakukan maka kita bertentangan dengan sipat Allah yang Maha Pemurah, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang.

Kikir itu adalah sipat Syetan, menyembunyikan pun demikian. Bergerak luruslah dengan sipat-sipat Allah, menyatulah didalamnya. Karena sipat-sipat Allah itu bukan untuk dibicarakan dan dibahas secara panjang lebar, tetapi harus diamalkan.” “Mengamalkan itulah yang berat, Syekh.” ujar Kebo Kenongo. “Kebanyakan manusia terkadang sangat keberatan jika orang lain menginginkan ilmu yang dimilikinya?” “Tentu saja. Karena masih menyatu dengan kebalikan sipat-sipat Allah, yang saya ungkap tadi.” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak, “Terkadang manusia berpikir, betapa susah untuk meraih ilmu, betapa berat untuk mendapatkannya, betapa harus berkorban tenaga dan harta untuk meraihnya, maka jika demikian haruskah diberikandengan cuma-cuma?” “Syekh sendiri?” “Itulah saya seperti Ki Ageng Pengging lihat. Mengapa lagi harus menentang sipat-sipat Allah jika kita sudah berada dalam lingkarnya, bukankah kita berada dalam manunggalnya.”ujar Syekh Siti Jenar. “Apalagi yang saya inginkan?” “Meski saya kurang begitu paham maksudnya, sedikit-demi sedikit akan berusaha mencernanya.”Kebo Kenongo menempelkan telunjuk dikeningnya. “Pantas saja sangat jarang orang pemurah semacam, Syekh. Karena mereka masih berada dalam tahap syariat, kebutuhan jasadyahlah yang paling utama. Hingga saya berpendapat apalagi yang tidak bisa Syekh dapatkan? Semuanya berada dalam genggaman.” “Nafsu duniawi itu akan sirna, seperti saya uraikan sebelumnya.” “Kenapa Sunan Kalijaga dan para wali yang setarap ilmunya dengan Syekh lebih menyukai berada dalam lingkar kekuasaan?” “Itu bukan tujuan mereka untuk meraih kekuasaan.

Terutama Sunan Kalijaga, jika dia ingin berkuasa tentu sudah menjadi raja. Karena dia seperti halnya Ki Ageng Pengging keturuan darah biru.” terang Syekh Siti Jenar, “Sunan Kalijaga setelah memperdalam ajaran Islam, melepas kekuasaan dan keduniawian, terutama sekali setelah berada dalam tahapan seperti saya. Dia berada dalam lingkar kekuasaan Demak, semata untuk menyebarluaskan syariat Islam. Bukan berarti gila kekuasaan atau membuntuti penguasa untuk mendapatkan keuntungan. Dia lebih cenderung untuk menterjemahkan, menyampaikan, mengamalkan, ajaran tadi dalam tahapan syariat, juga ilmu politik, sosial, dan budaya.” “Apakah dia mengajarkan pula ilmu ma’rifat?” “Tentu saja.” terang Syekh Siti Jenar, “Namun Sunan Kalijaga tidak seperti saya cara mengajarkannya. Lihatlah tentang gamelan dan wayangnya, lihatlah tentang shalat yang lima waktu…..” “Saya paham, Syekh.” Kebo Kenongo mengangguk-anggukan kepala. “Dia tidak mudah memberikan ilmu yang lebih tinggi tahapannya….” “Lihatlah tangga yang menuju padepokan saya, Ki Ageng Pengging!”

“Bertahap?” gumam Kebo Kenongo, “Mengapa Syekh memberikan apa saja yang diminta orang tanpa melalui tahapan?” “Bukankah tadi telah saya uraikan? Kenapa tidak jika saya telah berada dalam lingkar dzat Maha Pemurah, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang. Manunggaling Kawula Gusti.” “Hhhhhmmmmmm….” Kebo Kenongo menarik napas dalam-dalam, pikirannya mencoba mencerna segala uraian yang telah disampaikan Syekh Siti Jenar. Terkadang gampang dicerna, kadang pula sangat berat untuk dipahami. “Saya akan berusaha sekuat tenaga untuk mencapainya. Namun yang dimaksud Manunggaling Kawula Gusti menurut Syekh?” “Manunggaling Kawula Gusti?” Syekh Siti Jenar lantas berdiri di atas satu kaki, “Saya berikan dua arti; pertama manunggaling sifat, kedua manunggaling dzat.” “Maksudnya?” “Manunggaling sifat,” Syekh Siti Jenar kembali berdiri di atas dua kakinya, lalu melangkah perlahan. “Sebelumnya saya akan bertanya pada, Ki Ageng Pengging. Apa rasanya gula? Apa pula rasanya garam?” “Tentu saja gula manis, dan garam asin.” “Berikan pula gula dan garam ini pada seratus orang. Biarkan mereka mengecap dengan lidahnya, lalu tanya oleh Ki Ageng Pengging.” “Semuanya akan mengatakan sama, Syekh. Manis dan Asin. Meski dikasihkan pada seribu orang.” “Itulah yang dikatakan manunggaling sifat.” “O…ya…” Kebo Kenongo mengangguk-anggukan kepalanya.

“Selamat datang di Masjid Demak, Pangeran Bayat.” ujar Sunan Giri, lalu duduk bersila di samping Sunan Kudus, Sunan Muria, tidak ketinggalan Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. “Saya kembali kedatangan Ki Sakawarki dan Ki Demang Bintoro.” tatapan matanya menyapu wajah kedua orang yang disebutnya, duduk berhadapan. “Terimakasih, saya mendengar kabar burung tentang ajaran sesat yang disebarluaskan Syekh Siti Jenar.” Pangeran Bayat menatap Demang Bintoro, “Ajaran sesat macam apa?” “Sampaikanlah kabar terbaru tentang ajaran Syekh Siti Jenar dan pengikutnya, Ki Demang!” ujar Sunan Giri.

“Gusti Pangeran, juga Kanjeng Sunan yang saya hormati, ajaran itu benar-benar menyesatkan. Hidup itu untuk mati, mati itu untuk hidup, akhirnya banyak rakyat Kademangan Bintoro yang bunuh diri.” Ki Demang berhenti sejenak, “Saya selanjutnya melakukan penyelidikan bersama Ki Sakawarki. Ternyata bukan hanya isapan jempol belaka tentang kesesatan ajaran Syekh Siti Jenar itu.” “Saya semula tidak percaya tentang ajaran sesat Syekh Siti Jenar.” tambah Ki Sakawarki, “Tapi ketika mendengar langsung dan menyaksikan barulah percaya.” “Adakah penyimpangan lain dari ajaran Islam yang berkaitan dengan aqidah?” tanya Sunan Giri. “Tentu saja, Kanjeng.” Ki Sakawarki menganggukan kepala, “Mereka tidak mesyariatkan shalat lima waktu, begitu pula kewajiban lainnya.” “Menyimpang dan sesat secara aqidah!” Sunan Giri geram. “Benarkah mereka juga melakukan tindakan makar? Selain menyebarluaskan ajaran sesatnya?” tanya Pangeran Bayat. “Itulah yang kami saksikan.” jawab Demang Bintoro. “Dengan bukti melakukan penyerangan terhadap Kademangan.” “Keparat!” muka Pangeran Bayat merah padam, “Saya kira dibelakang semua ini Ki Ageng Pengging juga punya kepentingan?” “Mungkin? Karena merasa masih keturunan Majapahit, Gusti?” tambah Demang Bintoro. “Yang paling mencolok mereka menyebut nama pimpinan pemberontak Kebo Ben….” “Jika itu Kebo Kenongo, maka dugaan saya benar.” potong Pangeran Bayat. “Karena Kebo Kenongo nama lain dari Ki Ageng Pengging….” “Disini telah berbaur antara aqidah islam dan politik…..” “Benar, Kanjeng Sunan Kalijaga!” potong Pangeran Bayat, “Untuk itu kita tidak bisa membiarkan hal ini terjadi.

Sebab jika dibiarkan akan mengancam keutuhan negeri Demak Bintoro.” ‘Padahal maksud saya tidak seperti itu, Kanjeng?’ Sunan Kalijaga beradu tatap dengan Sunan Bonang, memulai percakapan dengan batinnya. ‘Saya kira tidak perlu mencampuri persoalan ini terlalu jauh, Kanjeng.’ tatap Sunan Bonang. ‘Jika itu dilakukan sangatlah berlebihan, seakan-akan kitalah yang memiliki ilmu terlalu tinggi. Sehingga tanpa beranjak dari tempat duduk mengetahui yang sesungguhnya telah terjadi.’ ‘Betapa sombong dan angkuhnya kita, Kanjeng.’ Sunan Kalijaga mengaggukan kepala. ‘Namun tidak ada salahnya jika kita dimintai pendapat…’ “Politik macam apa yang terjadi dibalik tersebarnya ajaran sesat ini?” tanya Demang Bintoro. “Mereka akan menciptakan dulu keresahan dikalangan umat beragama, Ki Demang. Dalam keadaan umat resah dan bingung, politik untuk melakukan makar pun berjalan.” terang Pangeran Bayat.

“Itulah yang terjadi di Kademangan Bintoro, Gusti Pangeran.” Demang Bintoro menganggukan kepala, “Pantas mereka mempengaruhi rakyat kademangan dengan ajaran yang menyesatkan, hingga pada suatu malam terjadi penyerbuan. Namun yang paling aneh, ketika salah satu diantara mereka tertangkap, membenturkan kepalanya pada batu hingga tewas.” “Itulah yang mereka anggap jihad!” ujar Pangeran Bayat, “Tentu saja mereka akan memilih mati ketimbang tertangkap, karena mati telah memenuhi panggilan jihad.” berusaha menyimpulkan. “Pantas saja?” Demang Bintoro menggeleng-gelengkan kepala. “Jika demikian kesimpulannya sudahlah jelas persoalan ini, Gusti Pangeran.” Ki Sakawarki penuh hormat, “Syekh Siti Jenar beserta pengikutnya harus ditangkap. Mereka telah berani merusak ajaran Islam yang sesungguhnya. Selain telah berani-berani mencampurbaurkan kepentingan politik dengan agama. Sehingga agama dijadikan alat politik dan kekuasaan.” “Itulah yang terjadi Ki Sakawarki, jika boleh saya berksimpulan.” Pangeran Bayat mengaggukan kepala. “Namun sebelum bertindak saya akan meminta dulu pendapat para wali agung tentang batasan sesat yang disebarluaskan Syekh Siti Jenar. Bagaimana menurut pendapat, Kanjeng Sunan?” tatapan mata Pangeran Bayat menyapu wajah para wali, berhenti pada Sunan Giri, selaku ketua Dewan Wali.

“Pengertian sesat?” Sunan Giri memutar tatapannya, “Saya menyimpulkan, jika Syekh Siti Jenar sudah menganggap shalat lima waktu tidak wajib, puasa bulan ramadan tidak wajib. Hidup untuk mati, mati untuk hidup. Jelas sesat! Sudah keluar dari esensi Islam yang sesungguhnya.” “Tidakah kita menelisiknya terlebih dahulu, Kanjeng Sunan Giri?” Sunan Kalijaga beradu tatap. “Apa lagi yang mesti kita selidiki, Kanjeng Sunan Kalijaga?” ujar Sunan Giri, “Penyebaran ajaran sesat harus segera dihentikan. Jika tidak maka umat akan resah, kesetabilan negeri Demak Bintoro akan terancam.” “Tidakkah kita ingin memastikan sekali lagi tentang sesatnya ajaran Syekh Siti Jenar dengan mengutus seorang wali?” tatap Sunan Kalijaga. “Bukankha Ki Sakawarki saja sudah cukup sebagai seorang Kiai membuktikan kesesatan tadi?” “Apakah Ki Sakawarki sudah secara langsung mendengar dan melihat jika ajaran Syekh Siti Jenat itu sesat?” “Maafkan Kanjeng Sunan Kalijaga, saya belum bertemu dengan Syekh Siti Jenar.

Namun saya hanya melihat dan mendengar dari para muridnya, ketika beberapa malam lalu melakukan pemberontakan.” “Bisakah itu dijadikan sebagai bukti?” Sunan Kalijaga memutar tatapannya ke arah Pangeran Bayat dan Sunan Giri. “Dari Segi politik, yakin tujuan utamanya ingin makar. Bukan semata menyebarkan ajaran sesat, Kanjeng.” Pangeran Bayat mengerutkan dahinya, “Yang memperkuat tuduhan saya dengan adanya nama Kebo Kenongo. Jelas-jelas dia masih keturunan Majapahit dan memiliki pengaruh sama dengan Gusti Raden Patah. Hanya dia tidak seberuntung junjungan kita.” “Pangeran, bagaimana jika kita pisahkan dulu masalah politik dan agama?” “Maaf, Kanjeng. Saya rasa persoalan politik dan agama dalam hal ini sudah menyatu.” tukas Pangeran Bayat. “Saya menduga jika kepentingan politik yang ditebarkan Kebo Kenongo dibungkus rapih dengan agama.

Dengan tujuan orang terfokus pada persoalan agama, padahal politis.” “Makanya saya tadi berpendapat, untuk menjernihkan persoalan ini dan menangkap makna yang sesungguhnya, kita pisahkan dulu…” “Kanjeng Sunan Kalijaga, sebaiknya perdebatan ini dihentikan. Saya takut di antara para wali terjadi perbedaan paham yang runcing, begitu pula dengan kalangan pemerintah.” potong Sunan Giri. “Selanjutnya kita renungkan sejenak sebelum mengambil keputusan. Bagaimana jika kita memperbincangkannya dengan Raden Patah, semoga dari hasil persidangan nanti ada keputusan. Jika Syekh Siti Jenar perlu ditangkap, kita tangkap!”

“Saya setuju!” ujar Pangeran Bayat. “Apa pun yang terjadi jika itu keputusan raja, sudah semestinya kita taati.” “Baiklah.” Sunan Kalijaga menganggukan kepala, tatapan matanya tertuju pada Sunan Bonang, mata hatinya mulai bersentuhan dan bercakap-cakap. ‘Kanjeng Sunan Bonang, saya secara syariat tidak bisa melawan kehendak Allah.’ ‘Ya, karena itu sudah menjadi sebuah taqdir dan ketentuan yang mesti dijalani. Kita lihat dan ikuti saja…meski secara lahiryah tetap harus berikhtiar. Saya kira Syekh Siti Jenar juga paham perjalanan hidupnya…’ batin Sunan Bonang, tatapan matanya menerbar sinar kemerah-merahan beradu dengan sorot mata pancaran jingga Sunan Kalijaga. “Ada apa?” Sunan Drajat tersentak dari duduknya, “Mengapa ada pancaran sinar dari…” “Disini tidak ada yang aneh, Kanjeng Sunan Drajat.” tegur Sunan Giri, “Kenapa Kanjeng tersentak?” tatapan matanya mengikuti sudut pandang Sunan Drajat, tetapi tidak menemukan hal yang perlu dikejutkan. “Tidakkah Kanjeng me…” “Benar, Kanjeng Sunan Drajat.” tatap Sunan Bonang. Seakan-akan menembus batin hingga tidak berdaya.

“Kanjeng Sunan Bonang?” Sunan Drajat mengangukan kepala, meski tidak mengerti. Hatinya seakan-akan disusupi nasihat yang sebelumnya tidak pernah diketahui. “Saya harus menafsirkannya…” “Apa yang telah terjadi? Kenapa saling memberi isyarah?” Pangeran Bayat kebingungan. “Kanjeng Sunan Giri?” “Saya juga tidak terlalu paham, Pangeran.” bisiknya, lalu menatap Sunan Bonang. “Kanjeng Sunan Bonang?” “Tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan, Kanjeng Sunan Giri.” ujar Sunan Bonang, “Putusan terbaik dalam menyikapi Syekh Siti Jenar dan pengikutnya, kita mesti menunggu keputusan Raden Patah, sesuai dengan pendapat Kanjeng.

Kami berisyarah setuju pada perkataan Kanjeng Sunan Giri tadi.” “Baiklah jika demikian. Kita bersidang dengan pihak pemerintahan demi mengambil keputusan.” Sunan Giri mengaggukan kepala, lalu perlahan bangkit dari duduknya. “Kanjeng, jika demikian saya mohon pamit.” ujar Demang Bintoro. “Karena tugas saya sudah selesai, sedangkan persidangan merupakan wewenang para wali dan pemerintah.” “Baiklah, Ki Demang.” Sunan Giri menerima kedua telapak tangan Demang Bintoro yang mengajak bersalaman. “Semoga kalian selamat diperjalanan. Persoalan tadi akan kami tindaklanjuti, agar tidak terlanjur dan terlunta-lunta hingga mengakibatkan kesesatan bagi umat.”

Matahari mulai merayap, perlahan meredup seakan-akan terlihat lelah dan ngantuk. Seharian memelototi bumi beserta isinya, menatap setiap tingkah dan laku manusia yang beragam. Matahari sudah waktunya kembali dan beristirahat di peraduannya, seiring dengan datangnya gelap malam. Namun penghuni jagat raya seakan tidak peduli meski matahari tidak lagi memelototi dan menerangi, biar kerlip gemintang sebagai pengganti, saksi mereka bertingkahlaku. Malam hanya perpindahan dari terang pada gelap, dari benderang pada kremangan. Hingga tidak pernah menghalangi dan menyurutkan niat dan langkah manusia dengan segenap tekad dan keinginannya untuk berbuat. Pinggir hutan di halaman pendopo milik Kebo Benowo dan pengikutnya, berkelebatan bayangan tubuh yang sedang berlatih silat. Joyo Dento dan Kebo Benongo bergantian mengajarkan setiap jurus dan strategi perang.

Tidak lama berselang terdengar suara kuda yang bergerak ke arah mereka. Dua ekor kuda yang ditunggangi Kebo Benowo dan Loro Gembol telah berada di tengah-tengah pengikutnya. “Ki Gempol,” ujar Joyo Dento mendekat, “Terlihat segar malam ini….” “Benar, Dento.” Loro Gempol turun dari punggung kuda, “Syekh Siti Jenar benar-benar hebat. Hanya dengan tatapan mata beliau menyembuhkan luka dalam akibat tendangan Ki Sakawarki.” “Hebat!” Joyo Dento menggelengkan kepala. “Artinya Ki Gempol sudah siap memimpin kembali pemberontakan?” “Tentu saja, Dento.” Loro Gempol menepuk-nepuk dadanya, “Bahkan ilmuku sudah mulai bertambah meski dalam waktu sangat singkat. Saya sudah memiliki tendangan yang lebih hebat dari Ki Sakawarki.” lalu memutar lehernya mengikuti sudut pandangnya yang tertuju pada sebongkah batu. “Seperti apa tendangan itu, Ki?” tanya Kebo Benongo. “Lihatlah! Saya akan menghancurkan batu sebesar perut kerbau itu hanya dengan satu kali tendangan.” Loro Gempol lalu mengambil ancang-ancang, seraya loncat dan mengarahkan tendangannya pada batu. Dragkkkk….tendangan kaki Loro Gempol menghantam sasaran, tidak pelak lagi hancur lebur berkeping-keping.

Prilakunya disambut dengan tepukan pasukan gelap sewu, serta Joyo Dento dan Kebo Benongo. “Bisa seperti itu Syekh Siti Jenar mengajarkan ilmu kanuragan, Ki Gempol?” Joyo Dento mengerutkan keningnya. “Bukankah dia orang sakti, Dento?” Loro Gempol tersenyum. “Sayang, Ki Gempol?” “Kenapa, Dento?” “Seandainya beliau bersedia mendukung perjuangan kita dengan kesaktiannya, sudah barang tentu sangat mudahlah menghancurkan Kademangan Bintoro.” ujar Joyo Dento, seraya duduk di atas bangku yang terbuat dari kayu. “Sungguh sayang, begitu juga Ki Ageng Pengging, sangatlah sulit untuk diajak serta.” “Jangankan Kademangan, Demak pun jika beliau mau tentu bisa dihancur leburkan!” timpal Loro Gempol. “Sangat aneh?” Joyo Dento menggelengkan kepala, “Semakin tinggi ilmunya, semakin digjaya kesaktiannya, malah semakin tidak tertarik pada kekuasaan?” lalu menghela napas dalam-dalam. “Itulah keanehan mereka, Dento.” Kebo Benowo ikut nimbrung, “Bukankah menurut andika tidak perlu lagi memikirkan mereka yang sudah tidak memiliki keinginan untuk berkuasa.” “Ya, lupakan saja semuanya!” Joyo Dento bangkit dari duduknya, “Sebaiknya kita tidak terpengaruh….”

“Bagus,” ujar Loro Gempol, “Sekarang kesaktian saya telah bertambah. Mengapa tidak digunakan untuk kembali mengadakan penyerangan terhadap Kademangan Bintoro?” “Haruskah malam ini?” tanya Kebo Benongo. “Tidakah merasa lelah sepulang dari padepokan?” “Tidak!” “Gempol, bukannya saya tidak percaya pada tendangan maut yang baru saja andika miliki.” Kebo Benowo mendekat, “Cukupkah jumlah prajurit kita untuk menggempur Kademangan Bintoro?” “Benar!” Joyo Dento meletakan kedua tangannya di belakang, “Meski pun Ki Gempol bisa mengalahkan Ki Sakawarki, tidak ada salahnya kmemperhitungkan jumlah kekuatan yang kita miliki. Sebenarnya ada taktik perang gelap…” “Maksud andika?” Loro Gempol menatap tajam. “Harus menghindari perang terbuka. Mengingat jumlah pasukan kita lebih sedikit di banding musuh.” dahinya dikerutkan, “Serangan kita harus bersifat memecah konsentrasi musuh, lantas menyerang, lalu menghilang.” terang Joyo Dento. “Berhasilkah dengan cara demikian?” tanya Kebo Benowo, “Tidak lebih baikah jika kita menambah jumlah pasukan?” “Bisa saja, menambah pasukan. Artinya untuk sementara kita menghentikan penyerangan….” “Jadi saya tidak bisa mencoba ilmu baru dalam waktu dekat?” Loro Gempol garuk-garuk kepala.

Dewan wali yang di pimpin Sunan Giri mulai memasuki istana kerajaan Demak Bintoro. Mereka menginjakan kakinya di atas karpet berwarna hijau, kiriman dari Bagdad. Di setiap sudut istana berdiri para prajurit dengan tombak dan tameng di tangannya. Raden Patah sudah berada di atas singgasananya, perlahan bangkit menyambut kedatangan para wali. Pangeran Bayat, serta para abdi kerajaan lainnya berdiri, menyalami. Hari itu tampaknya ada pertemuan penting antara Raden Patah dan Walisongo. “Selamat datang di keraton, Kanjeng Sunan.” Raden Patah menyalami dan memeluk Sunan Giri, lalu yang lainnya. “Silahkan…”

“Terimakasih atas sambutannya, Raden.” Sunan Giri lalu duduk di atas kursi yang telah disediakan. Diikuti para wali lain menempati kursi yang telah disediakan. “Rasanya sangat bahagia hati ini, batin pun terasa tentram jika sudah bertemu dengan para wali yang terhormat.” Raden Patah perlahan duduk kembali di atas singgasana kerajaannya, para abdi pun mengikuti. “Sudah sekian lama Kanjeng Sunan tidak menyempatkan diri memasuki istana yang megah ini.” “Tidaklah harus terlena dengan kemegahan istana, Raden.” ujar Sunan Giri tersenyum tipis, “Singgasana berlapis emas, serta empuk, terkadang menyebabkan kita untuk bermalas-malas. Saking nikmatnya kita dalam sehat dan istirahat, terkadang lupa pada tugas yang sesungguhnya. Bukankah kita mendapatkan kepercayaan dari rakyat demi kesejahteraannya, demi ketentramannya, demi ketenangannya, demi melayaninya?” “Alhamdulillah, Kanjeng.” Raden Patah sekilas menyapu wajah Sunan Giri dengan tatapan matanya, “Saya sudah berupaya menjalankannya sesuai dengan amanah dan ajaran Islam.

Namun saya sebagai manusia terkadang terlena dibuatnya…..” “Jika Raden terlena dengan kekuasaan dan kemegahan, hendaklah istigfar.” Sunan Giri mengacungkan telunjuknya, “Karena singgasana ini tidak abadi, kekuasaan akan berakhir dengan ketidakuasaan, kenikmatan dan kemewahan hanya bisa dikecap dalam sekejap. Semua itu diingatkan ketika diri kita tidak sempat untuk istirahat dan menikmati, bahkan saat sakit mengusik kita. Disitu tidak ada nikmat yang bisa dirasakan meski sekejap. Itu semua mengingatkan pada diri kita, semua yang kita miliki akan ditinggalkan, semua yang kita kuasai pada suatu saat akan menjauh. Bukankah kehidupan di dunia ini telah ditentukan batasnya? Seindah apa pun dunia tetaplah fana, semegah apa pun dunia akan berkesudahan.

Tidak ada bedanya saat kita merasakan lapar bergegas mencari makanan, setelah rasa lapar tergantikan dengan kekenyaang nikmat pun tidak ada lagi.” “Jika perut sudah terlalu kenyang tidak mungkin meneruskan makan, meski masih terhidang beraneka kelezatan di atas meja.” Raden Patah mengangguk-anggukan kepala, “Hanya sekejap….dan ada akhirnya…bukankah datangnya rasa nikmat ketika kita merasakan lapar?” “Andai lapar itu berada pada tahapan Raden. Tentu akan terobati, tinggal memanggil pelayan kerajaan.

Tetapi jika rasa lapar menimpa rakyat miskin, bisakah terobati dalam sekejap?” tatap Sunan Giri. “Ya, saya paham, Kanjeng.” Raden Patah menundukan kepalanya, “Dimas Bayat, masihkah di negeri ini ada rakyat yang kelaparan?” lalu tatapan matanya tertuju pada Pangeran Bayat. “Menurut hamba negeri ini sangatlah makmur, Gusti.” Pangeran Bayat mengacungkan sembahnya, “Sangat tidak mungkin di negeri semakmur Demak Bintoro ada rakyat yang kelaparan?” “Benarkah, Dimas?” “Hamba yakin, Gusti.” “Baguslah jika tidak ada yang kelaparan,” Raden Patah menundukan kepala dihadapan Sunan Giri. “Seandainya masih ada rakyat yang miskin dan kelaparan? Sementara kita serba berkecukupan? Tidakah di akhirat nanti akan menuai kecaman dari Allah SWT.? Mungkin rakyat negeri Demak Bintoro, meski pun lapar tidak akan banyak berbuat selain mengganjal perutnya dengan kesedihan, bisa juga menangis?” desak Sunan Giri.

“Maafkan saya, Kanjeng.” Raden Patah perlahan mengangkat kepalanya, “Jika itu terjadi dan menimpa rakyat negeri Demak Bintoro, mungkin saya sebagai pemimpin akan menerima hukumannya di akhirat. Mudah-mudahan yang dilaporkan Dimas Bayat benar. Hal itu tidak terjadi di negeri ini….” “Yakinkah, Raden?” “Saya percaya pada Dimas Bayat, Kanjeng Sunan.” “Hamba melaporkan dengan sesungguhnya. Berdasarkan pendengaran dan penglihatan hamba.” ujar Pangeran Bayat. “Baguslah jika yakin sebatas laporan, Raden.” Sunan Giri perlahan bangkit dari duduknya, lalu mengitari singgasana Raden Patah. “Tahukah Raden tujuan utama kedatangan kami, dewan wali ke istana ini?” “Tentu saja, Kanjeng.” Raden Patah perlahan memicingkan sudut matanya, menatap langkah kaki Sunan Giri. “Bukankah di negeri ini telah muncul persoalan yang terkait dengan Syekh Siti Jenar dan pengikutnya, Kanjeng?” “Benar,” Sunan Giri menghentikan langkahnya, lalu kembali duduk di atas kursinya. “Ada kabar jika Syekh Siti Jenar menyebarkan ajaran sesat.

Pengikutnya terutama rakyat miskin dan kelaparan banyak yang mengakhiri hidupnya.” “Mereka bunuh diri, Kanjeng?” ujar Raden Patah, “Mereka mengaggap bahwa mati lebih nikmat dari pada hidup dalam kemiskinan. Syekh Siti Jenar pada pengikutnya menghembuskan ajaran hidup untuk mati, mati untuk hidup.” “Pisahkan dulu persoalan mati untuk hidup, hidup untuk mati, tentang ajaran Syekh Siti Jenar!” “Kenapa, Kanjeng?” “Lihat dan perhatikan, jika yang bunuh diri itu si miskin dan menderita…” “Mengapa harus dipisahkan persoalan ini? Rakyat Demak Bintoro yang miskin tentu saja mudah dihasut akhirnya nekat bunuh diri. Apalagi mendengar ajaran yang menyesatkan ini.” “Persoalannya karena miskin, Raden. Bukankah tadi dikatakan, jika di negeri makmur ini sudah tidak ada lagi yang miskin dan kelaparan?” “Astagfirullah!” Raden Patah lalu mengusapkan kedua telapak tangannya pada wajah, “Ya, Allah maafkan hambamu ini. Hamba telah berbuat hilap….” dari sela-sela jemarinya menetes buliran air mata, semakin lama semakin banyak.

Suasana istana yang hening terusik dengan isak tangisnya Raden Patah, seakan-akan mengubah dan memecah suasana. Pangeran Bayat semakin menundukan kepalanya, dagunya seakan-akan menyentuh lutut, hatinya mulai ketar-ketir, jika seandainya Raden Patah marah. Sunan Giri hanya berbagi tatap dengan para wali, termasuk Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Drajat, dan Sunan Gunung Jati. Mereka memahami setiap maksud perkataan Sunan Giri, namun tidak ada yang mengusik isak tangis Raden Patah meski hanya sepatah kata penghibur. “Mereka mudah dihasut karena miskin…” isak Raden Patah, “…bukankah menurut laporan yang saya dengar tidak ada lagi rakyat miskin dan menderita…seandainya itu masih ada artinya…telah berdosa dan menyia-nyiakan amanah…”

Bersambung 

No comments:

Post a Comment