Friday, September 28, 2018

Syeh sitijenar vs walisongo bagian 3

Namun saya masih ada keperluan lain, disamping akan berusaha membantu para wali untuk menyebarkan ajaran Islam. Izinkanlah saya untuk berpamitan,” Syekh Siti Jenar bangkit dari duduknya. “Andika mesti ingat ketika menyebarkan agama Islam yang agung ini jangan sampai keluar dari aturan para wali.” ujar Sunan Giri. “Mohon maaf, Kanjeng Sunan Giri. Karena saya bukan wali, tentunya tidak terikat dengan aturan wali. Mungkin saya akan mengajarkan dan menyebarluaskan agama Islam dengan cara saya sendiri.” Syekh Siti Jenar seraya menyalami semuanya, lalu Sunan Bonang dan yang terakhir Sunan Kalijaga. ‘Saudaraku selamat berjuang, mungkin pada akhirnya kita harus bertabrakan.

Namun itu secara lahiryah….’ batin Sunan Kalijaga. ‘Tidak mengapa saudaraku Kanjeng Sunan Kalijaga…itulah tujuan menuju Allah dan jalan yang berlainan.’ Syekh Siti Jenar melepaskan tangan Sunan Kalijaga, seraya membalikan tubuhnya dan keluar dari masjid Demak diantar oleh tatapan para wali yang masih berdiri. “Kanjeng Sunan Kalijaga, benar tadi batinmu berujar pada Syekh Siti Jenar.” Sunan Bonang menatap Sunan Kalijaga. “Tinggal menunggu waktu, Kanjeng. Itu semua kehendaknya..” jawab Sunan Kalijaga. “Kanjeng Sunan Bonang, Kanjeng Sunan Kalijaga, apa maksud pembicaran andika berdua?” tanya Sunan Giri.

Keduanya tidak berbicara lagi, karena sudah terdengar bunyi adzan Magrib, mereka menjawab, Allahu Akbar. Diikuti yang lainnya, meski dalam hati mereka menyimpan rasa penasaran dan keingin tahuan mengenai ucapan kedua wali tadi, untuk sementara disimpanya dalam hati masing-masing.

“Kanjeng Sunan Bonang, kayaknya kita agak kesulitan untuk menyebarkan Islam disini.” Sunan Kalijaga memandang kerumunan orang. “Kayaknya mereka lebih menyukai hura-hura dan gamelan, Kanjeng Sunan Kalijaga.” tambah Sunan Bonang, matanya memperhatikan orang yang berkerumun menju pasar seni. “Kita pun tidak perlu kalah, Kanjeng Sunan Bonang. Jika hanya mendengar kita berceramah kayaknya kurang tertarik, alangkah lebih baiknya kita pun harus mengadakan pendekatan budaya.” Sunan Kalijaga tidak melepaskan pandanganya dari kerumunan orang, lalu duduk di tepi jalan di atas batang kayu yang lapuk. “Pendekatan budaya?” Sunan Bonang mengerutkan dahinya. “Benar, pertama kita melihat sesuatu yang mereka sukai.

Kedua, kita harus masuk ke dalam sistem budaya masyarakat.” Sunan Kalijaga bangkit dan membalikan tubuhnya ke arah Sunan Bonang. “Seperti yang kita perhatikan, masyarakat Jawa sangat menyukai gamelan. Untuk itu kita turuti kesenangan mereka, tidak ada salahnya membuat gamelan…” “Membuat gamelan? Maksud Kanjeng Sunan supaya mereka mengerumuni gamelan yang kita tabuh. Upaya untuk mengumpulkan orang…” ujar Sunan Bonang. “Ya, setelah mereka berkerumun karena tertarik dengan irama gamelan yang kita tabuh, disitulah kita berdakwah.”lanjut Sunan Kalijaga. “Berdakwah, orang akan bubar. Lantas mereka tidak akan pernah berkerumun lagi karena tertipu,” Sunan Bonang mengerutkan dahinya sejenak. “…maksud saya gamelan itu hanya penarik dan pembuka acara dakwah kita. Setelah itu tidak mengalun lagi….berarti selesai pertunjukan.” “O, tidak seperti itu, Kanjeng Sunan Bonang.

Gamelan harus terus mengalun, ketika kita menyampaikan pesan dakwah. Caranya juga bukan seperti yang biasa dilakukan para wali sebelumnya, namun ada canda dan filsafat.” terang Sunan Kalijaga. “Maksud, Kanjeng? Jika demikian gamelan itu dijadikan sarana dakwah, bukankah itu seperti lakon, yang didalamnya diselipi pesan-pesan.” “Begitulah, Kanjeng Sunan Bonang. Namun sarana kita adalah wayang kulit. Karakter wayang yang kita ciptakan harus mencerminkan sosok orang baik, jahat, kejam, ulama, dan sebagainya.

Karakter yang kita ciptakan adalah cermin lelaku kehidupan manusia.” Sunan Kalijaga, sejenak menatap awan yang melingkari puncak gunung, lalu kembali menatap lawan bicaranya. “Lelaku manusia yang berbuat baik akan menerima pahala baik, jahat pun sebaliknya. Setelah itu mereka bercermin, dalam karakter itu munculah sosok yang diteladani, yaitu karakter Kanjeng Nabi Muhammad dan para Sahabatnya.” “Tapi kita tidak boleh mencipta Kanjeng Nabi dan para sahabat agung dalam sebuah bentuk ukiran..” sela Sunan Bonang. “Tentu, dan kita tidak akan berbuat seperti itu.

Namun kita akan menciptakan karakter wayang yang memiliki lelaku Islam. Rukun Islam itu ada lima, maka ciptakan lima sosok wayang berkarakter cerminan muslim. Kanjeng Nabi itu punya empat sahabat terbaik, hingga menjadi lima dengan Junjunan Alam Rasulullah. Bentuklah Pandawa Lima, cerminan dari lelaku Kanjeng Nabi dan keempat sahabat terbaiknya. Lalu karakter jahatnya kita bentuk juga dari cerminan orang-orang jahat…” ujar Sunan Kalijaga.

“Benar…” Sunan Bonang mengamini. Hingga keduanya berbicara panjang lebar membahas metode berdakwah dengan menggunakan gamelan sebagai pemikat dan wayang kulit sebagai medianya. *** Matahari mulai menyelinap dibalik bukit, kirimkan sinar keemasan di langit sebelah barat. Awan berubah menjadi jingga, mengitari puncak pegunungan. Masa keemasan akan tiba seiring dengan perputaran roda kehidupan dan waktu. Lagu Ilir-ilir bergema sebelum waktu Magrib tiba, nyanyian bermakna mendalam ciptaan para wali.

Rakyat menyanyikannya dengan gembira, ada yang memahmi akan makna dan maksudnya, ada pula yang masih buta akan isinya, ada pula yang hanya menikmati lirik dan syairnya saja. Bedug Magrib tiba, mereka berbondong-bondong menuju masjid Demak Bintoro untuk shalat berjamaah. Shalat Isya pun tidak mau mereka lewatkan, meski ajaran Islam belum diterima secara merata. Dakwah yang dilakukan sebagain Wali melalui media wayang kulit dan tabuhan gamelan sebagai daya tarik.

Cara seperti itu benar-benar efektif bisa mengikat banyak orang berbondong-bondong memeluk agama Islam. Sunan Kalijaga melepas jubah kewalian, mengenakan pakaian serba hitam ala petani, rakyat jelata. Hingga tidak ada antara dirinya dengan rakyat. Rakyat lebih mudah didekati tanpa rasa curiga, karena Sunan Kalijaga berbaur didalamnnya.

“Kita belum juga menemukan jejak Syekh Siti Jenar,” ujar Loro Gempol. “Bukankah dia ke arah sini?” “Tidak mungkin, saya punya keyakinan jika Syekh Siti Jenar menuju pusat Kota Demak Bintoro.” potong Kebobenowo. “Kalau betul dia menuju Kota Demak, sangatlah sulit untuk menemukannya.” Lego Benongo menghentikan langkah, lalu duduk di atas batu di tepi jalan. “Benar juga, Benongo.” Kebo Benowo mengerutkan keningnya, langkah pun terhenti sejenak, matanya menatap jalan yang masih panjang. Menarik napas dalam-dalam. “Sebaiknya kita duduk-duduk disini sambil cari makan, menunggu Syekh Siti Jenar pulang. Jika memang dia dari pusat Kota Demak Bintoro, tentulah pulangnya akan melewati jalan ini.” “Itu baru benar,” sahut Lego Benongo, langsung saja merebahkan tubuhnya di atas rumput hijau di bawah rindangnya pohon jalan. Sayap malam mulai mengembang, matahari telah menyelinap di balik bukit. Kelelawar beterbangan keluar dari sarangnya, bergembiraria menyambut datangnya malam. “Ki Benowo, hari sudah malam.

Apakah kita mau tetap disini menunggu Syekh Siti Jenar?” tanya Loro Gempol bangkit dari duduknya. Kepalanya mendongak ke atas menatap langit yang mulai tampak dihiasi gemintang. “Benar juga, Gempol.” Kebo Benowo berdiri, menatap jalan yang terbentang panjang menuju pusat Kerajaan Demak Bintoro. “Lihat! Mungkinkah dia yang kita tunggu?” “Syekh Siti Jenar?” timpal Lego Benongo. “Kelihatannya Syekh Siti Jenar, Ki Benowo.” ujar Loro Gempol gembira. “Hebat, wajahnya memancarkan cahaya terang, padahal dia tidak membawa obor atau lampu.” “Saya rasa itulah kehebatan ilmu yang dimilikinya.” duga Kebo Benowo. “Kita sudah benar menemukan seorang guru.” “Tapi apa mau Syekh Siti Jenar mengangkat kita sebagai muridnya?” Loro Benongo meragukan. “Kalau tidak mau kita bunuh saja!” geram Loro Gempol. “Kamu seperti tidak ingat saja, Gempol. Bukankah Syekh Siti Jenar itu sangat sulit dilukai?” Kebo Benowo mengingatkan. “Mana mungkin kita bisa membunuh, apalagi mengancamnya agar diagkat jadi murid.

Sebaiknya kita bersikap lunak pada orang yang memiliki ilmu tinggi seperti dia.” “Benar juga, Ki Benowo.” Loro Gempol mengagukan kepala. “Jika tetap tidak mau menerima kita sebagai muridnya?” “Kita coba saja dulu,” ujar Kebo Benowo. Syekh Siti Jenar telah mendekat, lalu melintas dihadapan Kebo Benowo dan kedua temannya. Syekh Siti Jenar sedikit pun tidak menyapa apalagi meliriknya, terus melangkah ke depan dengan tenang. “Syekh,” Kebo Benowo mengerjanya. “Bolehkah saya berguru?” “Mengapa mesti berguru? Kepada siapa kisanak akan berguru?” Syekh Siti Jenar tidak menghentikan langkahnya, dan tidak melirik. “Karena saya ingin memiliki ilmu. Tentu saja saya ingin berguru pada Syekh Siti Jenar.” jawab Kebo Benowo. “Mengapa harus kepada saya? Ilmu apa pula yang kisanak inginkan dari saya.” ucap Syekh Siti Jenar. “Padahal saya manusia biasa seperti kisanak, bukan pemilik ilmu dan tidak memiliki ilmu apa pun. Baik kisanak atau pun ilmu ada yang memilikinya.” “Saya tidak mengerti pada ucapan, Syekh?” Kebo Benowo mengerutkan keningnya. “Kenapa jawaban Syekh membingunkan kami?” timpal Loro Gempol.

“Apanya yang membuat kisanak pada kebingungan? Saya tidak pernah membuat bingung orang lain apalagi menyusahkan orang.” Syekh Siti Jenar menghentikan langkahnya, lalu menatap ke tiga rampok tersebut. “Hanya kisanaklah yang ingin membuat susah dan menyusahkan diri sendiri.” “Apa maksud ucapan, Syekh?” ke tiga rampok hampir serempak menepuk dahinya masing-masing. Kepala seakan-akan mau pecah ketika mendengar setiap perkataan Syekh Siti Jenar. “Saya manusia biasa seperti kisanak, bukan pemilik ilmu. Bukankah kisanak sendiri dan ilmu itu ada pemiliknya? Itukah yang membuat kisanak bingung?” tatap Syekh Siti Jenar, mengulang ucapannya. “Itulah yang tidak kami pahami. Karena kami orang awam, tidak tahu segala hal yang Syekh ucapkan.” Kebo Benowo berusaha mencerna ucapan Syekh Siti Jenar. “Syekh tadi mengatakan, kalau diri Syekh adalah manusia biasa seperti saya,” “Ya,” ”Bukankah Syekh memiliki ilmu yang hebat? Sedangkan kami tidak bisa apa-apa?” ujar Kebo Benowo. ”Saya tidak memiliki ilmu yang hebat.

Kisanak mengaggap tidak bisa apa-apa, itu merupakan pernyataan yang sangat keliru.” Syekh Siti Jenar diam sejenak, matanya menatap satu persatu wajah orang yang diajak bicaranya. “Kenapa tidak mau mengakui kalau diri Syekh memiliki ilmu yang hebat.” sela Kebo Benowo. Pikirannya semakin sumpek mendengar setiap perkataan Syekh Siti Jenar yang bersebrangan dengan realita yang dia pahami. “Malah pengakuan saya dianggap keliru,” “Memang benar kisanak sangat keliru.” Syekh Siti Jenar, mendongak ke atas langit, “Tataplah bintang gemintang yang ada di atas kepala kisanak nun jauh di langit.” “Apakah ada yang aneh dengan bintang-gemintang di langit?” tanya Kebo Benowo.

Belum menemukan celah terang atas segala perkataan Syekh Siti Jenar, pikirannya semakin ngejelimet. “Bukan ada yang aneh atau tidak. Perhatikanlah bintang-bintang? Kenapa tidak jatuh ke bumi dan menimpa kepala kita? Pernahkah terpikir dalam benak kisanak, siapa yang menahannya di langit?” Syekh Siti Jenar kembali menatap ke tiga rampok tadi. “Benar juga. Tidak tahu. Mungkinkah kekuatan yang tidak nampak?” “Kenapa kekuatannya tidak nampak? Siapa pula yang memiliki kekuatan yang tidak nampak itu?” tanya Syekh Siti Jenar. “Saya tidak mengerti Syekh? Jika memang ada kekuatan siapa pemiliknya?” “Dialah Allah. Allah itu penguasa semesta alam. Penggenggam setiap jiwa makhluknya.” ujar Syekh Siti Jenar. “Kita kembali pada ucapan saya semula. Maksud saya itulah tadi.” “O…ya.” Kebo Benowo mengangguk-anggukan kepala, rupanya mulai ada titik terang di benaknya. “Jika demikian saya mulai terbuka dengan apa yang Syekh Siti Jenar uraikan tadi.

Namun yang masih membingungkan, mengapa dianggap keliru jika saya mengatakan tidak bisa apa-apa di banding kisanak.” “Jika kisanak mengatakan tidak bisa apa-apa, tentu saja mati. Hanya orang matilah yang tidak bisa apa-apa.” terang Syekh Siti Jenar. “Benar perkataan kisanak, Syekh.” Kebo Benowo mengagguk. “Namun maksud tidak bisa apa-apa disini bahwa ilmu yang saya miliki jauh dibawah kehebatan ilmu Syekh.” “Ya,” Syekh Siti Jenar mengangguk. “Itu bukan berarti bahwa saya lebih hebat dari kisanak.

Hanya kisanak belum menemukan ilmu yang saya miliki.” “Itulah yang saya inginkan dari Syekh. Beritahu saya cara menemukan ilmu tadi.” ucap Kebo Benowo. “Akan saya tunjukan. Ikutlah kisanak ke padepokan saya!” Syekh Siti Jenar membalikan tubuhnya, kemudian melangkahkan kakinya dengan tenang. “Terimaksih, Syekh.” Kebo Benowo dan kedua temannya sangat senang akan diberi ilmu hebat yang dimiliki oleh Syekh Siti Jenar. *** Walisongo terus menyebarkan agama Islam di pulau Jawa. Sunan Kalijaga berbeda cara dengan wali lainnya. Lebih menyukai berbaur dengan rakyat kebanyakan, tanpa mengenakan pakaian serba putih seperti yang lainnya. “Kanjeng Sunan Kalijaga, ternyata pendekatan budaya lebih bisa diterima ketimbang hanya membawa pesan belaka.” ujar Sunan Bonang.

“Karena antara kita dengan mereka nyaris tidak ada jarak pemisah.” jawab Sunan Kalijaga. “Ternyata hanya dengan cara berpakaian saja, mereka sudah sulit didekati.” “Benar,” Sunan Bonang memaksakan tersenyum. “Namun dibalik keberhasilan andika ternyata menuai protes dari sebagian wali, terutama Kanjeng Sunan Giri. Hingga pada hari ini andika harus menghadap mereka dipersidangan para wali.” tambah Sunan Bonang. “Tidak mengapa Kanjeng Sunan Bonang.

Itulah resiko yang harus saya tanggung. Asalkan saya tidak menyimpang dari ajaran Islam,” Sunan Kalijaga menghela napas, seraya kakinya tetap melangkah beriringan dengan Sunan Bonang. “Saya menyimpang hanya dalam soal budaya, yang semestinya tidak harus terjadi perbedaan paham seperti sekarang.” “Mungkin salah satunya itu.” Sunan Bonang mulai menginjakan kaki di gerbang masjid Demak. “Kita sudah sampai, Kanjeng.” “Silakan Kanjeng Sunan Bonang duluan,” Sunan Kalijaga memasuki masjid Demak beriringan dengan Sunan Bonang yang sudah terlebih dahulu masuk. “Selamat datang, Kanjeng Sunan Kalijaga dan Kanjeng Sunan Bonang.” ujar Sunan Muria. “Silahkan duduk, Sunan Giri dan para wali sudah menunggu.” Keadaan hening sejenak. Para wali saling tatap satu sama lainnya, tatapan Sunan Kalijaga beradu dengan Sunan Giri, lalu beralih ke Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, dan terakhir Sunan Bonang.

Sunan Kalijaga masih beradu tatap dengan Sunan Bonang, saling menembus batin, saling bercakap. Sementara percakapan batin mereka tidak bisa ditembus oleh sebagian wali. “Pahamkah Kanjeng Sunan Kalijaga pada hari ini sidang para wali mengundang?” Sunan Giri membuka pembicaraan. “Daripada saya menduga-duga, alangkah lebih baiknya jika Kanjeng Sunan Giri menjelaskan.” ujar Sunan Kalijaga tenang. “Tidakah andika menyadari akan tindakan yang dilakukan?” Sunan Giri melanjutkan. “Haruskah andika mengganti pakaian dengan mengenakan pakaian rakyat kebanyakan?” “Itukah yang ingin Kanjeng Sunan Giri persoalkan?” tatap Sunan Kalijaga. “Benar, karena tidak selayaknya seorang wali mengenakan pakaian serba hitam seperti halnya rakyat kebanyakan.

Bersambung

No comments:

Post a Comment