Nah, untuk menyeimbangkan itulah yang sangat sulit.” “Sebetulnya kita tidak perlu seimbang dulu. Namun itu terlalu berat untuk kebanyakan orang dan tidak mungkin dapat tercapai. Sebab bagi yang telah ma’rifat dan akrab tidak perlu jauh melangkah tinggal mengatakannya, apa yang diinginkan akan datang atau berada dalam genggaman.” terang Syekh Siti Jenar, lantas membuka telapak tangannya dan diacungkan ke langit, lalu dikepalkan. “…lihatlah! Inikah yang Ki Ageng inginkan?” “Benar, Syekh. Andika selain bisa membaca keinginan batin saya juga dapat membuktikannya hanya dengan mengepalkan tangan.” Kebo Kenongo menggeleng-gelengkan kepala, seraya memujinya. *** “Sudahkah andika menemukan cara yang tepat untuk menguasai Demak?” Loro Gempol menatap wajah Kebo Benowo.
“Meski saya telah berkali-kali memikirkannya belum juga menemukan cara yang tepat, Gempol.” Kebo Benowo menempelkan telunjuk dikeningnya. Lalu bangkit dari duduknya, menggendong kedua tangannya dibelakang, dahinya berkerut-kerut, kakinya melangkah pelan. “….bagaimana…cara termudah?” “Bolehkah saya berbicara?” Joyo Dento mengangkat kepalanya. “Apa yang akan andika katakan, Dento? Bantulah saya berpikir!” tatap Kebo Benowo. “Menurut hemat saya, negara Demak Bintoro kini dalam keadaan tenang dan tentram. Namun bukan berarti ketenangan ini tidak bisa diusik.” “Semua orang tahu! Apa maksud andika!” timpal Loro Gempol meninggi. “Mohon maaf, Ki Gempol. Bukankah saya belum selesai bicara?” “Lanjutkan, Dento!” ujar Kebo Benowo mengacungkan telapak tangannya, seraya menatap Loro Ge,pol agar memberi kesempatan bicara pada Joyo Dento. “Negeri Demak Bintoro kini dalam keadaan tenang dan tentram. Sangat sulit bagi kita untuk melakukan pemberontakan apalagi penggulingan kekuasaan.
Namun bukan berarti suasana tenang dan tentram ini tidak bisa diubah, menjadi kacau balau dan carut marut.” Joyo Dento berhenti sejenak, matanya merayap mengelilingi ruang pertemuan. Kembali tatapannya tertuju pada Kebo Benowo. “Maksud andika?” Loro Gempol tidak sabar. “Maksud saya, untuk merubah suasana tenang dan tentram ini harus menciptakan keadaan sebaliknya.” “Mengacau ketenangan masyarakat?” tatap Kebo Benowo. “Jika itu dilakukan berarti tindakan kita untuk menggulingkan Raden Patah tidak akan berhasil, bahkan akan mendapat kecaman dari rakyat. Karena mereka tahu bahwa kita pengacau.
Sedangkan yang kita harapkan dukungan rakyat, yang membetulkan tindakan kudeta. Jadi pada intinya tindakan kita harus mendapat simpati dari rakyat.” “Benar, maksud saya itu.” ujar joyo Dento. “Maksud andika jelas salah, Dento! Tidakah andika membayangkan jika kita merampok rakyat, mengganggu rakyat, sebaliknya mereka akan lebih simpati pada Sultan.” sela Loro Gempol. “Tentu, jika kita salah dalam melakukan tindakan.” terang Joyo Dento. “Saya meskipun sehari-hari berada di pasar dan melakukan perbuatan sabung ayam, hanya untuk melampiaskan hobi saja. Andika belum paham jika saya dulu pernah mengabdi di Kadipaten Majapahit. Bahkan saya pun banyak belajar tentang politik dan ketatanegaraan.
Namun orang-orang Majapahit kini tidak mau lagi memperlihatkan diri dan merasa antipati terhadap Raja Demak Bintoro, karena membaca kekuatan sendiri. Jika melakukan hal tadi berarti akan ditangkap, termasuk Ki Ageng Pengging, beliau lebih memilih hidup menjadi seorang petani, dengan nama lain.” Mendengar uraian Joyo Dento yang membuka jatidirinya dan mengurai keahliannya, Kebo Benowo, Loro Gempol, Lego Benongo, juga seluruh peserta sidang pada kesempatan itu terkagum-kagum. “Pantas saja, andika berbeda.” Kebo Benowo menggelengkan kepala. “Jika demikian lanjutkanlah rencana dan dasar pemikiran andika. Andika mulai hari ini saya angkat sebagi penasehat saya dan yang lainnya.”
“Terimakasih, Ki Benowo.” Joyo Dento menghela napas, “Saya sebetulnya sejak dulu mencari teman dan orang yang ingin melakukan pemberontakan, sekaligus penggulingan kekuasaan terhadap Raden Patah. Namun kini saya baru menemukan orang yang benar-benar punya niat dan tujuan yang sama dengan saya. Jadi tidak ada salahnya jika saya pun mendukung gerakan ini.” “Kita tidak salah bergabung, Dento.” ujar Kebo Benowo.
“Hanya sayang, yang semestinnya Ki Ageng Pengging yang harus maju dan bergabung dengan kita sama sekali tidak tertarik. Ki Ageng Pengging sesungguhnya memiliki darah biru yang sangat kuat, karena beliau keturunan raja Majapahit.” Joyo Dento berhenti sejenak, “Namun meski pun demikian andikalah yang ternyata berani maju, Ki Benowo. Tidak ada salahnya, saya akan mendukung. Hanya dalam hal ini kita harus punya strategi yang tepat. Seperti yang saya uraikan pertama kali.” ”Ya, tentang pembicaraan semula. Lanjutkan apa rencana tadi?” pinta Kebo Benowo. “Baiklah,” ujar Joyo Dento.
”Dengarkan para pengemis!” teriak Kebo Benowo, matanya menyapu para pengemis yang bersila di pinggir jalan menuju pasar. “Kenapa andika semua mesti jadi pengemis? Tidak inginkah hidup mewah seperti para penduduk kota Demak Bintoro? Tidak inginkah kalian menjadi orang kaya, seperti para pejabat negara? Bukankah mereka itu manusia seperti kita? Harus sadar pula bahwa kita pun memiliki hak yang sama seperti mereka. Tidak sadarkah jika para pejabat Negeri Demak telah mendzalimi kalian semua? Membiarkan kalian terlantar dipinggiran jalan. Sementara mereka bersenang- senang di pusat kota Demak Bintoro.
Tidak sadarkah bahwa mereka telah melupakan kita selaku rakyat? Mereka telah menelantarkan kita dalam lingkaran kemiskinan dan penderitaan. Kalian harus paham akan semua itu. Sesungguhnya hak kalian telah dirampas oleh mereka.” “Jadi kami mesti bagaimana, Ki? Sedangkan kami pun tidak ingin menjadi orang miskin.” ujar seorang pengemis paruhbaya. “Ingatlah, bahwa kalian memiliki hak yang sama seperti para penguasa negeri ini. Mintalah hak kalian!” ujar Kebo Benowo. “Tidak mungkin? Mustahil keinginan kita dikabulkan oleh para penguasa dzalim yang tidak peduli akan nasib rakyatnya, yang miskin seperti kami.” ujar si pengemis paruhbaya. “Jika tidak mungkin menurut kalian, tidak perlu menyesal dengan nasib yang dialami.
Karena kehidupan dunia ini hanyalah sekejap, setelah itu kita akan mati. Untuk itu biarkanlah mereka itu menikmati hidupnya sebagai penguasa, karena mereka hanyalah mayat-mayat hidup yang menunggu kematian. Sedangkan kematian merupakan pertemuan kita dengan Sang Pencipta, untuk menemui kenikmatan yang abadi.” urai Kebo Benowo. “Benarkah kematian itu merupakan kenikmatan yang abadi dibandingkan dengan para penguasa yang sekarang sedang menikmati kesenangan?” kerut pengemis paruhbaya. “Benar, karena mereka pun akan mati. Setelah mati maka ditangisi oleh keluarganya, lalu harta yang mereka agung-agungkan ditinggalkan untuk diperebutkan oleh keturunannya. Jadi apa artinya harta kekayaan juga kekuasaan. Toh, kita pun akan mati dan meninggalkan semua kesenangan duniawi yang bersifat sekejap.
Bayangkanlah kesenangan setelah kematian. Bukankah nenek moyang kalian tidak pernah ingin kembali ke dunia ini dari kuburnya? Mengapa demikian? Karena mereka menikmati kematian yang teramat menyenangkan dan menentramkan.” Kebo Benowo yang memahami secara dangkal ajaran Syekh Siti Jenar, mencoba mengurai sesuka hatinya. “Benar juga yang andika katakan, Ki.” si pengemis paruhbaya mengagguk-anggukan kepala, begitu juga yang lainnya. “Memang kehidupan ini hanyalah samsara, penderitaan dan kesengsaraan.
Sedangkan kematian merupakan nirwana, kesenangan yang teramat membahagiakan. Karena bisa melepaskan kita dari berbagai penderitaan.” ”Itu benar, Kisanak.” Kebo Benowo mengacungkan jempolnya. “lihatlah mereka yang tadinya hidup susah, lalu dalam keadaan sakit dan sekarat, akhirnya mati tersenyum. Mereka mengakhiri segala penderitaan dengan kematian. Untuk apa kita hidup di negeri mayat, jika itu bukan mayat yang sesungguhnya. Mereka semua hanyalah mayat-mayat berjalan, tidak memiliki rasa dan kepekaan. Meskipun punya jabatan dan kekayaan namun tidak bisa mereka nikmati. Maka kematianlah sesungguhnya kenikmatan setiap manusia, yang harus kita raih dan dapatkan.”
“Saya setuju, Ki.” pengemis paruhbaya bangkit. “Jika demikian marilah kita songsong kematian…saya ingin mati!” teriaknya. Selanjutnya diikuti oleh para pengemis lainnya. Para pengemis bangkit dari duduknnya seraya berjalan-jalan keliling sambil berteriak-teriak menyongsong kematian. Ada juga yang nekad membenturkan kepalanya ke atas batu hingga pecah dan meninggal, ada juga yang terus berjalan menunggu ajal tanpa makan. “Hahahaha…mungkin itulah yang dimaksud Joyo Dento.” Kebo Benowo mengawasi para pengemis sambil tersenyum.
“Hebat andika Joyo Dento.” puji Kebo Benowo seraya menepuk-nepuk bahunya. “Sekarang keadaan negeri Demak Bintoro akan dilanda oleh kekacauan, serta krisis kepercayaan. Itu semua alhasil dari hasutan kita agar masyarakat miskin antipati terhadap penguasa. Benar-benar cerdik daya pemikiran andika, Dento.” “Itulah yang harus kita ciptakan. Strategi pertama untuk menggoncang keaadaan negara. Setelah ini berhasil dan di dengar beritannya oleh para penguasa negeri Demak Bintoro, maka pertama-tama mereka akan mencari tahu penyebabnya.” ujar Joyo Dento. “Mungkinkah mereka akan menangkap kita sebagai penghasut?” tanya Loro Gempol. “Sangat tidak mungkin, Ki.” jawab Joyo Dento yakin. “Kenapa? Bukankah kita penghasutnya?” timpal Kebo Benowo. “Karena kita bukan menghasut tapi berbicara berdasarkan kenyataan.
Mereka pun tidak mudah menuduh kita sebagi pengasut, dalam menciptakan kekacauan di negeri Demak Bintoro tanpa adanya bukti yang kuat.” terang Joyo Dento. “Benar juga, Dento.” Kebo Benowo menganggukan kepala. “Jika keadaan negara sudah kacau balau, rakyat tidak percaya lagi pada penguasa, maka mereka akan sibuk. Dalam keadaan seperti itulah kita mengadakan tindakan.” Joyo Dento mengepalkan tangannya. “Melakukan kudeta?” celetuk Loro Gempol. “Apa mungkin kita mampuh menggulingkan kekuasaan Raden Patah?” kerut Kebo Benowo. “Karena kekacauan seperti ini tidak seberaba, jika dibanding dengan kekuatan negara Demak Bintoro yang sesungguhnya. Lalu kita juga harus berkaca, apa mungkin kekuatan kita sudah cukup untuk melakukan penyerangan?”
“Apa salahnya jika kita mencoba? Siapa tahu menang.” tambah Loro Gempol seraya menggenggam gagang goloknya. “Benar, kita mesti mencoba dan berusaha. Untuk mengukur kekuatan kita, sudah semestinya begitu.” terang Joyo Dento. “Namun dalam tindakan percobaan kita harus menciptakan strategi penyerangan yang berbeda. Agar kita pada waktunya tidak konyol dan membahayakan diri sendiri.” “Jika demikian ijinkan saya menyiapkan pasukan untuk menyerbu Demak Bintoro, Ki Benowo.” Loro Gempol Bangkit dari duduknya, langkahnya berat dan pasti. “Tunggu dulu, Gempol!” Kebo Benowo berteriak. “Kenapa mesti menunggu lagi? Bukankah kita akan mencoba kekuatan?” langkah Loro Gempol terhenti di depan pintu. “Benar, Ki Gempol.
Namun ingatlah yang saya katakan tadi. Meski dikalangan rakyat miskin sedang terjadi kekacauan, namun itu belum seberapa.” terang Joyo Dento. “Kekacauan tadi hanya bersifat lokal, sangat kurang berpengaruh terhadap stabilitas keamanan negeri Demak Bintoro. Sebaiknya sebelum melakukan penyerangan sebarkan dulu kekacauan tadi hingga merebak seantero negeri Demak Bintoro.” urainya. “Benar, Gempol. Apa yang dikatakan Joyo Dento sebaiknya diikuti, karena dia sudah saya angkat sebagai penasihat.” ujar Kebo Benowo, seraya menepuk bahu Loro Gempol. “Baiklah jika itu perintah Ki Benowo.” Loro Gempol menganggukan kepalanya, seraya kembali ke tempat duduknya.
“Baguslah jika andika setuju.” Kebo Benowo tersenyum bahagia, lalu melirik ke arah Joyo Dento, dalam benaknya menaruh berjuta harapan demi cita-citanya menggenggam kekuasaan di negeri Demak Bintoro. “Apa rencana berikutnya, Dento?” “Baiklah, kita menyusun strategi berikutnya.” Joyo Dento menempelkan jari dikeningnya seakan-akan berpikir sangat keras. *** “Syekh, rasanya sangat berat untuk menempuh jalan ma’rifat.” Kebo Kenongo nampak tidak ceria. “Ya, tentu saja.” “Mungkinkah saya harus bertahap? Menurut tahapan ilmu, Syekh?” “Tidak selalu, Ki Ageng Pengging.” Syekh Siti Jenar perlahan bangkit dari duduknya. “Bukankah saya menyarankan jika seandainya andika kesulitan mengikuti ilmu Islam, hendaknya ikutilah ajaran agama yang andika anut. Bukankah andika tinggal satu atau dua langkah lagi menuju ma’rifat, setelah itu akrab.
Orang yang akrab dengan Allah itulah seperti yang pernah saya uraikan sebelumnya.” “Ya,” Kebo Kenongo menggeleng, “Itu dibicarakan sangatlah mudah, Syekh. Namun untuk melaksanakannya terasa berat, dan sulit untuk membuka tabirnya. Jika sekali saja tabir itu sudah terbuka tentulah berikutnya akan lebih mudah.” “Benar,” Syekh Siti Jenar terdiam sejenak, matanya yang sejuk dan tajam beradu tatap dengan Kebo Kenongo. “Ya, hanya Sunan Kalijaga yang bisa…” gumamnya. “Sunan Kalijaga?” “Tidak perlu dipikirkan! Apalagi mempertanyakannya.” Syekh Siti Jenar kembali ke tempat duduknya.
“Kanjeng Sunan Giri, tahukah anda tentang Syekh Siti Jenar?” tanya seorang jemaah paruhbaya, usai melaksanakan sholat zuhur di masjid Demak. “Ya,” Sunan Giri menatapnya, “Memang kenapa dengan Syekh Siti Jenar, Ki Demang?” “Dia telah meresahkan.” jawab Ki Demang. “Meresahkan?” “Ya,” “Memang apa yang telah dia perbuat, Ki Demang?” “Syekh Siti Jenar telah mengacaukan keadaan rakyat negeri Demak Bintoro, Kanjeng.” “Maksud, Ki Demang?” Sunan Giri mengerutkan dahinya.
“Namun sebelumnya saya ingin tahu dulu.” “Tentang apa?” “Apakah Syekh Siti Jenar juga seorang wali seperti anda?” “Bukan! Dia hanyalah sosok yang tidak jelas asal usulnya. Juga ilmu yang didalaminya entah dari mana sumbernya.” “Tapi bukankah dia juga seorang ulama yang memiliki ilmu tinggi?” “Mungkin saja, Ki Demang. Tetapi dia bukan wali seperti saya dan yang lainnya. Selain asal usulnya tidak jelas, dia juga mempelajari ajaran Islamnnya entah dari mana?” “Berkaitan dengan itulah yang kini meresahkan dikalangan rakyat negeri Demak Bintoro, Kanjeng.” “Maksud, Ki Demang?” Sunan Giri menatap tajam wajah Demang Bintoro, dahinya dikerutkan. “Apakah Syekh Siti Jenar membuat ulah?” “Kemungkinan besar itulah yang sedang terjadi, Kanjeng.” “Tolong jelaskan, Ki Demang! Apa yang terjadi?” “Syekh Siti jenar telah menyebarkan ajaran sesat, Kanjeng.” “Ajaran sesat?” Sunan Giri terperanjat. “Benar,” “Maksud Ki Demang ajaran sesat seperti apa?” “Kehidupan ini adalah kematian…kematian adalah keabadian….” “Lalu?” “Lantas mereka banyak yang melakukan bunuh diri. Karena punya anggapan bahwa kehidupan ini adalah penderitaan.
Buktinya mereka banyak yang miskin dan menjadi gelandangan. Sedangkan kematian itu adalah indah dan menyenangkan.” Demang Bintoro menghela napas, “Mereka punya anggapan dengan jalan kematian bisa terlepas dari semua penderitaan dan kesengsaraan…” “Celaka!” Sunan Giri menepuk keningnya. “Sehingga banyak yang berteriak-teriak seperti orang gila mencari kematian dan keindahan abadi yang diharapkannya. Lalu bunuh diri…” tambah Demang Bintoro. “Saya pun datang ke mesjid Demak dari kademangan tidak lain hanya ingin menyampaikan kabar ini kepada para wali.” “Ini merupakan hal yang sangat serius yang bisa mengancam ketentraman dan keamanan negeri Demak Bintoro.” Sunan Giri bangkit dari duduknya, lalu matanya menatap para wali lain yang sedang melakukan wirid. Dipanggilnnya mereka untuk berundingsejenak. “Jangan dulu pulang Ki Demang, andika harus menyampaikan kejadian ini pada para wali.”
“Baiklah, Kanjeng.” Demang Bintoro menganggukan kepala, seraya menatap para wali yang mulai duduk berkeliling di tengah masjid sesuai permintaan Sunan Giri.
‘Bagaimana pun juga aku harus menghadap Ki Ageng Pengging. Meskipun dia tidak berambisi untuk menjadi penguasa negeri Demak Bintoro. Namun aku tidak rela jika bekas para abdi Majapahit berada dibawah bayang-bayang kekuasaan Raden Patah.’ ujar hati Joyo Dento, seraya tangannya menggenggam tali kendali kuda yang ditungganginya, berjalan pelan mendekati padepokan Syekh Siti Jenar. ‘Siapa tahu Ki Ageng berubah pikiran mendukung perjuangan ini, apalagi jika Syekh Siti Jenar turun tangan untuk membantu. Aku yakin pemberontakan ini tidak akan terlalu berat, karena mereka orang-orang sakti dan cerdas.
Jauh berbeda dibanding dengan Kebo Benowo mantan rampok bego, hanya punya ambisi semata dan kekuatan yang belum tentu bisa menandingi para wali.’ Joyo Dento menghentikan langkah kuda, lalu dikatnya pada sebuah pohon di tepi jalan. ‘Tunggu saja kamu disini kuda. Karena tidak mungkin sanggup menaiki jalan yang menyerupai tangga. Biar aku berjalan kaki saja untuk menemui mereka. Joyo Dento meluruskan pandangannya ke depan, usai mengikat kuda tunggangannya. Lalu melangkah pelan, menaiki jalan yang dipapas menyerupai tangga. ‘Banyak juga jumlah anak tangga ini,’ tangannya menyeka keringat yang mulai membasahi keningnya. ‘…tapi akhirnya aku sampai juga dipuncak…eh…ternyata masih ada jalan lurus membentang menuju padepokan.’ Joyo Dento berhenti sejenak menikmati sejuknya udara pegunungan dan hijau ranumnnya dedaunan, serta pemandangan puncak gunung yang tersaput mega putih. “Indah!” gumamnya. “Tempat ini di tata sangat bagus, membuat orang kerasan. Kanan kiri jalan dihiasi oleh pepohonan hijau, rerumputan…Syekh Siti Jenar menyukai keindahan dan keasrian alam.” Joyo Dento menghentikan langkahnya di depan pintu pagar padepokan, “Sampurasun!” “Masuklah Joyo Dento!” terdengar suara yang menyebut namanya, sedangkan wujudnnya entah dimana.
“Syekh Siti Jenarkah yang memanggil saya?” Joyo Dento memutar pandanganya, suara itu seakan-akan datang dari segala arah. “Bukankah aku ini sedang berada di depan pintu pagar padepokan?” gumamnnya. “Benar,” “Baiklah.” Joyo Dento membuka pintu pagar, seraya berdiri di depan pintu padepokan dan mendorongnya pelan. “Kenapa didalam tidak ada orang? Lantas Syekh Siti Jenar memanggil saya dari mana?” “Bukalah mata hati andika, Dento!” “Ki Agengkah itu?” Joyo Dento membelalakan matanya, menelisik ruang kosong, di depannya hanya terdapat hamparan tikar. “Benar, ini saya.” “Namun Ki Ageng tidak saya temukan, begitu juga Syekh Siti Jenar? Padahal suaranya seperti berada didepan saya.” Joyo Dento memijit-mijit dahinya. “Tataplah dengan mata terbuka, jangan dengan mata tertutup.” “Tapi saya sudah menatapnnya dengan mata terbuka, Ki Ageng Pengging. Namun saya tidak bisa menemukan keberadaan andika selain suara. Dan ruangan ini kosong, hampa, tidak ada orang?” Joyo Dento semakin kebingungan. Namun matanya merayap dan tertuju pada dua hamparan tikar yang berada dihadapannya.
“Bukankah saya ada dihadapan andika, Dento?” ujar Kebo Kenongo, seiring dengan bergeraknya hamparan terusik angin sepoi tikar. Pelan-pelan wujud keduanya yang sedang duduk bersila mulai tampak. “Ki Ageng, terimalah sembah hormat hamba!” Joyo Dento langsung saja menekuk lututnya seraya mengacungkan kedua tangannya menyembah. “Begitu juga pada Syekh Siti Jenar, seorang wali yang memiliki kesaktian tinggi.
Ijinkanlah hamba pada saat ini menghadap!” “Saya ijinkan, Dento.” Kebo Kenongo tersenyum. “Terimakasih, Ki Ageng.” lalu melirik ke arah Syekh Siti Jenar, wajahnya tampak memancarkan cahaya yang menyilaukan matanya, hingga tidak sanggup menatapnya. Joyo Dento pun menunduk. “Saya mohon maaf Syekh Siti Jenar karena telah lancang datang ke padepokan yang indah dan asri ini. Karena hamba punya maksud dan tujuan….” “Saya memaklumi, dan tahu akan tujuan dari kehadiran andika ke padepokan ini. Bukankah untuk meminta restu serta bantuan kami berdua atas upaya ambisi menggulingkan kekuasaan Raden Patah.” terang Syekh Siti Jenar. “Duh, mohon maaf Syekh. Ternyata andika memiliki ilmu sangat tinggi. Pantas saja Kebo Benowo dan kawan-kawannya sakti.” Joyo Dento semakin merunduk dan tercengang, atas kehebatan Syekh Siti Jenar yang tahu akan maksud kedatangannya. “Namun tidakah Syekh….” “Tidak, karena saya mengajarkan ilmu pada siapa saja yang mengingkannya. Kebo Benowo dan kawan-kawan mantan rampok yang memiliki ambisi untuk menggulingkan kekuasaan Raden Patah serta bermimipi ingin menjadi penguasa negeri Demak Bintoro adalah sebuah taqdir.” Syekh Siti Jenar seakan-akan sudah mengetahui setiap rencana, bahkan yang belum terujar masih tersimpan di dalam hati pun bisa diketahuinya.
Bersambung
No comments:
Post a Comment