Bagi sebagian besar rakyat Indonesia, pasti –setidaknya– pernah
mendengar legenda, atau dongeng leluhur. Dalam legenda-legenda atau
dongeng-dongeng masa lalu, acap terselip tentang kedigdayaan seorang
ksatria, seorang raja, atau seorang tokoh. Dalam banyak versi pula,
masing-masing tokoh yang memiliki kesaktian tadi, sejatinya memiliki
rahasia kelemahan. Masyarakat Jawa menyebut wadi.
Bahkan dalam cerita yang tentu saja fiktif, di tokoh cerita
pewayangan misalnya, seorang ksatria sakti tidak bisa mati kalau tidak
diserang pada titik rahasia kelemahannya, wadi-nya. Kalaupun
dia mati dalam sebuah pertempuran, tetapi bukan karena diserang di
bagian yang mematikan, maka dia akan hidup kembali. Kisah lain, yang
acap dilakonkan dalam seni ketoprak Jawa, seorang raja kejam yang sakti,
memiliki kelemahan kalau menyeberangi sungai. Maka lawannya akan
memancing dia untuk menyeberangi sungai, baru bisa membunuhnya.
Banyak kisah-kisah lain yang bahkan masih hidup sampai sekarang.
Pahlawan-pahlawan ternama diyakini sebagian masyarakat sebagai memiliki
kesaktian. Dia tidak akan mati kalau tidak diserang di wadi,
atau di rahasia kelemahannya. Nama-nama besar seperti Gajah Mada, para
Wali, Siliwangi, Pangeran Diponegoro, Pattimura, Bung Karno hingga
Jenderal Sudirman pun dianggap memiliki kesaktian. Bukan hanya itu,
hingga saat ini pun, di sejumlah daerah, masyarakat setempat memiliki
legenda-legenda tentang sosok sakti di daerahnya.
Kesaktian datang karena “laku” atau “tapa brata” atau “semedi”.
Kesaktian juga bisa karena “pegangan” atau senjata yang umumnya berupa
keris, tombak, dan lain sebagainya. Menurut legenda juga, kesaktian bisa
didapat dari hasil tekun berguru.
Nah, benarkah Bung Karno juga merupakan manusia “sakti”? Dengan
sejarah sedikitnya tujuh kali luput, lolos, dan terhindar dari kematian
akibat ancaman fisik secara langsung, menjadi hal yang jamak kalau
kemudian sebagian rakyat Indonesia menganggap Bung Karno adalah manusia
dengan tingkat kesaktian tinggi.
Dalam sebuah perjalanan di Makassar, Bung Karno diserbu gerombolan
separatis. Di perguruan Cikini, dia dilempar granat. Di Cisalak dia
dicegat dan ditembaki. Di Istana, dia diserang menggunakan pesawat
tempur juga oleh durjana separatis. Bahkan ketika dia tengah sholat Idul
Adha, seseorang yang ditengarai dari anasir DI/TII menumpahkan
serentetan tembakan dari jarak enam saf (barisan sholat) saja.
Dari kesemuanya, Bung Karno tetap selamat, tetap sehat, dan tidak
gentar. Dia terus saja menjalankan tugas kepresidenan dengan segala
konsekuensinya. Dalam salah satu pernyataannya di biografi yang ditulis
Cindy Adams, berkomentar tentang usaha-usaha pembunuhan yang dilakukan
terhadapnya, Bung Karno sendiri tidak mengaku memiliki kesaktian
tertentu. Ia menukas normatif, yang kurang lebih, “Mati-hidup adalah
kehendak Tuhan. Manusia mencoba membunuh, kalau Tuhan belum berkehendak
saya mati, maka saya belum akan mati.”
Dengan kepemimpinannya yang tegas, berani “menentang” mengutuk
politik Amerika Serikat, dengan keberaniannya keluar dari PBB dan
membentuk Conefo, dengan penggalangan jaringan yang begitu kokoh dengan
negara-negara besar di Asia maupun Afrika, Bung Karno tentu saja sangat
ditakuti Amerika Serikat sebagai motor bangkitnya bangsa-bangsa di dunia
untuk menumpas praktik-praktik imperialisme.
Seperti pernah diutarakan seorang pengamat, karena membunuh Sukarno
dari luar terbukti telah gagal, maka gerakan intelijen menusuk dari
dalam pun disusun, hingga lahirnya peristiwa Gestok yang benar-benar
berujung pada jatuhnya Bung Karno sebagai kepala pemerintahan dan kepala
negara Republik Indonesia. Tidak berhenti sampai di sini, upaya
membunuh secara fisik pun dilakukan dari dalam.
Celakanya, Bung Karno, entah sadar atau tidak, dalam penuturan kepada
Cindy Adams pernah membuat pernyataan, “Untuk membunuh saya adalah
mudah, jauhkan saja saya dari rakyat, saya akan mati perlahan-lahan.”
Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto dan atas dukungan Amerika
Serikat (dan kroninya), melakukan upaya pembunuhan (bisa dibilang
langsung, bisa pula tidak langsung) terhadap Bung Karno dengan cara yang
telah disebutkan oleh Bung Karno sendiri. Hingga Mei 1967, Bung Karno
seperti tahanan rumah. Meski masih berstatus Presiden, tetapi ia
terpenjara di Istana. Tidak beluar tanpa kawalan antek-antek Soeharto.
Situasi politik berbalik menempatkan Bung Karno pada stigma yang
terburuk. Gerakan demonstasi mahasiswa yang didukung militer,
pemberitaan media massa yang dikontrol Soeharto, membuat Bung Karno
makin terpuruk. Usai ia dilengserkan oleh Sidang Istimewa MPRS, kemudian
diasingkan di Bogor, kemudian disekap di Wisma Yaso, Jl Gatot Subroto.
Ia benar-benar menjadi pesakitan. Yang paling menyakitkan adalah karena
dia benar-benar dijauhkan dari rakyat. Rakyat yang menjadi “nyawa”-nya
selama ini.
Dengan cara itu pula, persis seperti yang ia utarakan dalam bukunya, Bung Karno wafat. (roso daras)
No comments:
Post a Comment