Friday, September 28, 2018

Syeh sitijenar vs walisongo bagian 9

“Itu pasti akan tercapai, Ki Ageng Pengging. Selama kita tidak berhenti berusaha.” terang Syekh Siti Jenar. “Syekh, saya ingin kembali menanyakan tentang sabda alam tadi.” “Silahkan, Ki Chantulo!” “Maksud dari berita kematian itu seperti apa? Bukankah kita semua pasti akan mati?””Benar, Ki Chantulo. Namun maksudnya disini ada keterkaitan dengan Kerajaan Demak. Kematian yang dimaksud disini terkait dengan para penguasa negeri Demak Bintoro.” Syekh Siti Jenar menghentikan bicaranya, seraya jari-jemari tangannya memainkan untaian mata tasbih, dari mulutnya meluncur dzikir, istigfar, tahmid, tahlil dan tasbih. “Terkait pula dengan persoalan keyakinan, terkait pula dengan kekacauan yang mengancam keamanan dan ketentraman negara, terkait pula dengan banyak persoalan.” “Kenapa mesti beritanya sampai kepada kita? Seakan-akan itu semua akan kita alami?” “Ya,” “Jadi?” “Tidak perlu takut, bukankah saya sudah membekali andika semua dengan ilmu sehingga tidak menjadikannya aneh dan menakutkan. Sebaliknya kenikmatanlah yang akan kita sambut.” “Mengapa hal itu mesti harus menimpa kita, Syekh? Bukankah kita tidak melakukan kesalahan?” “Lupakah andika pada uraian saya tadi.

Disini tidak lagi berbicara siapa yang benar dan salah? Karena ini semua sudah menjadi kehendak alam, sunatullah. Karena kehendak alam, makanya ilmu hamamayu hayuning bawana sebagai penyempurnanya.” “Saya kurang paham?” Ki Biosono memijit keningnya yang dikerutkan, lalu menatap tikar pandan yang didudukinya.

“Rasanya, tidak perlu dipahami untuk saat ini. Pemahaman tentang hal tadi akan andika genggam menjelang peristiwa itu mendekat.” terang Syekh Siti Jenar tenang. “Meski andika tahu akan hal tadi, amalkanlah hamamayu hayuning bawana. Bertebaranlah seperti sebelumnya andika di atas tanah jawa dwipa ini untuk menyebarluaskan ajaran agama Islam.” “Baiklah, Syekh. Saya tetap akan menebar rahmat bagi sekalian alam. Rahmatan lil alamin, hamamayu hayuning bawana.” ujar Ki Bisono. “Karena apa pun yang saya lakukan dalam penyebaran agama Islam ini bukan untuk mencari popularitas, bayaran, apalagi jabatan atau kekuasaan, serta pengaruh, namun itu semua saya dasari dengan keikhlasan dan keridlaannya. 

Semoga pula Allah SWT. meridloinya.” “Amin.”

“Malam ini cuaca cerah. Lihatlah bintang-gemintang berkedap-kedip di langit!” Joyo Dento mengangkat kepalanya mendongak ke langit, ” Persiapkanlah diri kalian, senjata, kuda, dan akal.” lalu menatap pasukan berpakaian serba hitam yang berbaris rapih. Mereka sejumlah pasukan pemberontak yang telah mendapat gemblengan olah kanuragan dari para pendekar berlatar rampok, Kebo Benowo dan kawan-kawan. Disamping ilmu keprajuritan dari Joyo Dento. “Bagaimana kesiapan andika semua?” Kebo Benowo keluar dari sebuah pendopo yang dijadikan markas. Tempat yang mereka diami terpencil dari penduduk, karena berada tepat di pinggiran hutan. “Saya kira mereka suda siap, Ki Benowo.” ujar Joyo Dento mendekat. “Baguslah jika telah siap.” Kebo Benowo mengangguk-angukan kepala. “Sasaran pertama?” “Tentu saja sesuai dengan rencana.” Joyo Dento setengah berbisik, “Malam ini kita harus bisa melumpuhkan Kademangan Bintoro. Jika sudah berhasil, langsung kita duduki dan kuasai. Disanalah selanjutnya pusatkan sebagian kekuatan kita, lalu perlebar sayap.” 

“Hahaha….andika memang cerdas, Dento.” raut wajah Kebo Benowo berseri, “Namun sudah memungkinkankah kita menggempur Kademangan Bintoro?” “Saya kira mungkin, Ki Benowo. Sebab kekuatan Kademangan Bintoro sudah melemah. Daya pikir rakyatnya sudah terpengaruh dengan ajaran hidup untuk mati.

Yang andika ajarkan dari Syekh Siti Jenar itu, sehingga mereka banyak yang bunuh diri dan tidak semangat hidup.” terang Joyo Dento, “Apalagi membela negerinya dari serangan kita, memikirkan diri sendiri pun sudah tidak tenang.” “Benar, Dento.” seringai Kebo Benowo, “Hebat juga pengaruh ilmu Syekh Siti Jenar jika demikian…terutama untuk membuat kekacauan.” “Kapan kita akan berangkat?” Loro Gempol menyilangkan golok di dadanya, “Rasanya saya sudah tidak sabar ingin memenggal leher penguasa Kademangan Bintoro!”

“Kita akan melakukan penyerangan jelang tengah malam.” jawab Joyo Dento. “Ketika mereka lengah dan baru saja menuju tempat tidur untuk bercengkrama dengan mimpi-mimpinya.” “Ya, saya setuju!” ujar Loro Gempol diiringi tawanya yang berderai. “Hai, para pasukan gelap sewu! Andika dalam penyerangan nanti jangan ragu-ragu untuk membunuh. Tidak perlu kalian mengasihani musuh sebelum mereka bertekuk lutut!” “Siap!” jawab pasukan gelap sewu serempak. “Hahaha…bagus jika andika semua sudah siap! Kita akan bergerak dan bertindak sesuai rencana yang telah disusun Joyo Dento.” terang Loro Gempol. Mereka percaya sepenuhnya pada setiap nasehat Joyo Dento.

Malam semakin larut, udara terasa semakin dingin, mengusik pori-pori kulit meski berpakaian tebal tetap terasa. Meski berada dalam ruangan tetap angin malam menyelinap melalui lubang-lubang angin yang membentengi pendopo Kademangan Bintoro. Di ruang pendopo Kademangan Bintoro tampak Ki Demang, Ki Sakawarki, ulama yang dianggap berilmu paling tinggi di Kademangan, juga beberapa santrinya, dan ditambah beberapa prajurit senior. “Itulah hasil perundingan saya dengan para wali dan ulama di masjid Demak, Ki Sakawarki.” ujar Ki Demang Bintoro. “Jika memang demikian keputusan sidang para wali, insya Allah saya mulai besok akan melakukan penyelidikan yang lebih mendalam tentang ajaran Syekh Siti Jenar.” ujar Ki Sakawarki. “Mohon maaf, Guru.” ujar Santri penuh hormat, “Menurut yang saya ketahui, sesungguhnya bukan hanya rumor.

Namun benar bahwa ajaran Syekh Siti Jenar yang menyesatkan telah tersebar di Kademangan Bintoro.” “Benarkah?” “Benar, Guru. Kemarin saya melewati pasar, di sana banyak orang miskin yang berbicara ngelantur. Serta dari mulutnya komat-kamit menyebut nama syekh Siti Jenar.” “Apa yang dibicarakannya?” Ki Sakarwaki menyapu wajah santri dengan tatapan matanya, “Ngelanturnya seperti apa sehingga andika menyimpulkan sesat?” “Mereka berbicara bahwa hidup itu lebih indah dari pada mati. Tidak ada artinya kita hidup jika hak kita dirampas oleh penguasa Demak. Hidup untuk mati, mati itu indah, hidup Syekh Siti Jenar!” ki santri berhenti sejenak, “Itulah yang saya dengar dan lihat, Guru.” “Mati itu indah? Celaka!” Ki Sakawarki terperanjat. “Yang paling celaka, mereka telah berani mengatakan bahwa hak hidup mereka dirampas oleh penguasa Demak.” Ki Demang tersentak, mukanya berubah angker, “Beraninya Syekh Siti Jenar mengajari rakyat Kademangan Bintoro untuk berkata lancang! Jelas selain menyesatkan juga punya tujuan makar terhadap pemerintahan yang syah.” “Benar pendapat, Ki Demang!” Ki Sakawarki menganggukkan kepala, tangannya terkepal giginya gemeretak. “Sudah sepantasnya kita mengadakan tindakan dengan segera!” “Ya, Ki Sakawarki.

Saya kira alasan seperti itu sudah cukup untuk melakukan penangkapan terhadap Syekh Siti Jenar dan pengikutnya.” Ki Demang Bintoro bangkit dari duduknya, tangannya dikepalkan sekuat tenaga. “Karena mereka telah melakukan dua kesalahan. Pertama menyampaikan ajaran sesat, kedua telah berani mempengaruhi rakyat untuk berbuat makar.” “Apakah kita akan langsung menangkap Syekh Siti Jenar? Atau segera melaporkan hal ini pada Para Wali dan Raden Patah?” “Sebelum melaporkan ke kerajan Demak dan para Wali sebaiknya kita melakukan penangkapan terlebih dahulu pada pengikutnya. Agar pelaporan kita disertai oleh bukti yang meyakinkan.” ujar Ki Demang. “Besok pagi saya akan memerintahkan beberapa orang prajurit untuk melakukan penangkapan! Saya minta agar Ki Sakawarki beserta para santri menyertainya!” “Baiklah, Ki Demang. Besok pagi akan saya kerahkan para santri menyertai para prajurit kademangan untuk melakukan penangkapan.”

“Bagus.” “Serbuuuuuuu!!!!” tiba-tiba terdengar teriakan di halaman kademangan, dibarengi suara benturan senjata. “Ada apa diluar sana?” Ki Demang Bintora tersentak kaget, belum juga mulutnya terkatup sudah diusik oleh suara yang menganggetkan. “Sepertinya ada peretempuran, Ki Demang?” Ki Sakawarki bangkitdari duduknya seraya menghunus keris, begitu juga para santrinya. “Ke….” belum juga Ki Demang melanjutkan perkataannya, dengan tergesa masuklah seorang prajurit penjaga. Langsung merunduk di hadapan Ki Demang seraya menghaturkan sembah. “Mohon ampun, Ki Demang.” “Apa yang terjadi diluar sana?” “Celaka, Ki Demang. Kademangn kita telah diserbu para murid Syekh Siti Jenar….” “Murid Siti Jenar?” Ki Sakawarki tercengang. “Itulah yang mereka sebut-sebut ketika melakukan penyerangan di luar sana.” terang prajurit. “Berarti itu bukan hanya dugaan, Ki Sakawarki. Tetapi benar yang kita simpulkan tadi. Mau tidak mau sekarang juga harus bertindak dan mengadakan perlawanan.” Ki Demang segera memasuki kamarnya, seraya kembali menghunus pedang dan mengenakan pakaian perang. “Seluruh prajurit harus berperang dan menumpas antek-antek Syekh Siti Jenar. Jangan segan-segan untuk bertindak tegas!” selanjutnya keluar dari ruangan, diikuti Ki Sakawarki beserta para santrinya dan pasukan prajurit.

Dalam keremangan malam yang diterangi kerlap-kerlipnya bintang di langit. Bulan belum lagi menjadi purnama, di pelataran kademangan Bintoro tampak berkelebatannya bayangan prajurit dan pasukan Gelap Sewu yang sedang bertarung. “Hahaha…..jangan sisakan yang tidak mau menyerah. Ilmu Syekh Siti Jenar menyertai kita!” teriak Loro Gempol yang berada di atas punggung kuda, menerobos pasukan lawan sambil membabatkan goloknya. “Tobaattttt….!” teriak seorang prajurit yang terkena sabetan golok Loro Gempol, terhuyung dan roboh dengan luka parah di lambungnya. “Hahaha….perlihatkanlah kehebatan kalian para prajurit dan petinggi negeri Demak! Saya yakin ilmu para wali tidak akan bisa mengalahkan ilmu guru kita, Syekh Siti Jenar yang agung.” Loro Gempol terus mengamuk, menerjang gelombang pasukan prajurit Kademangan Bintoro yang berlapis-lapis. “Ki Demang, dengarlah teriakan lelaki yang sedang mengamuk dan berusaha menerobos lapisan prajurit kita!” bisik Ki Sakawarki. “Benar, ternyata dia murid Syekh Siti Jenar.” Ki Demang Bintoro menggeleng-gelengkan kepala. “Betapa angkuhnya dengan kesaktian yang dimilikinya, Ki Sakawarki?” “Mengagunggkan Syekh Siti Jenar dan merendahkan para wali terhormat, Ki Demang.” “Sanggupkah kiranya kita mengalahkan mereka?” “Tidak perlu ragu, Ki Demang. Saya punya keyakinan Allah SWT. akan melindungi kita. Lihatlah jumlah pasukan kita lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan pasukan musuh yang berpakaian serba hitam.” “Saya kira pasukan mereka harus ditutup ruang geraknya.

Lalu robohkan pimpinannya yang sedang mencoba menembus lapisan pertahanan para prajurit. Jika pimpinannya roboh mereka akan mundur.” ujar Ki Demang Bintoro. “Biar saya yang akan loncat dan merobohkannya!” ujar Ki Sakawarki seraya bersiap-siap untuk loncat. “Kelihatannya dia bukanlah orang yang mudah dikalahkan. Karena tebasan senjata para prajurit seakan-akan tidak bisa melukai tubuhnya.” “Ki Demang, saya kira di dunia ini tidak ada orang yang hebat kecuali Allah.

Tidak ada salahnya jika saya mencoba menghadapinya demi mempertahankan tanah tercinta dari kedzaliman. Maka jihadlah jalan keluarnya.” Ki Sakawarki tanpa menunggu ucapan Ki Demang berikutnya, seraya dirinya menghunus keris dan melesat ke angkasa melewati barisan prajurit yang berlapis-lapis. “Hiaaaaattttt…….!!!!” “Pasukan pemanah bersiaplah kalian di belakangku! Jika pasukan terdesak, bertindaklah kalian!” “Siap, Ki Demang!” pasukan pemanah bersiap, untuk melepas anak panah. Busurnya sudah dipegang dengan kuat, talinya ditarik, anak panahnya dipasangkan, tinggal melepas sesuai perintah. Tubuh Ki Sakawarki yang melayang di angkasa terlihat sangat enteng dan ringan, bagaikan burung elang dengan sorot matanya yang tajam. Lalu menukik ke bawah, berbarengan dengan tendangan kaki kanannya yang menghantam dada Loro Gempol.

“Aduhhhh….!!!” betapa terperanjatnya Loro Gempol, ketika ada lelaki berjubah putih yang turun dari langit dan mengirimkan tendangan keras ke arah dadanya, hingga dirinya terpental dan jatuh dari punggung kuda. “Makhluk apakah yang menendang dadaku hingga terasa sesak dan panas….membakar sekujur tubuhku….” “Bukankah andika murid Syekh Siti Jenar yang sakti?” Ki Sakawarki melayang dan berdiri dihadapan Loro Gempol yang terhuyung, seraya tangan kirinya memegang dada. “Siapa andika? Mengapa bisa terbang seperti Syekh Siti Jenar guru saya?” “Saya Sakawarki, muridnya Sunan Kalijaga. Andika mengaku muridnya Syekh Siti Jenar dan menganggap remeh para wali.

Ternyata ilmu yang andika pelajari dari Syekh Siti Jenar tidak seberapa?” Ki Sakawarki mendekat, “Andika harus ditangkap karena telah berani melakukan pemberontakan dan……” Hiatttt….belum juga Ki Sakawarki selesai berbicara, Kebo Benowo dengan cepat menyambar tubuh Loro Gempol yang terhunyung-huyung. Dinaikan ke atas kuda dan melarikan diri dari pertempuran. “Mundurrrrrrr!!!!” teriak Kebo Benowo, seraya memacu kudanya dengan cepat. “Jangan lari keparat!” Ki Sakawarki bersiap untuk mengejar, namun Lego Benongo menghadangnya. “Kematian itu indah, kehidupan ini adalah penderitaan. Karena kematian lebih baik dari hidup miskin dan terjajah, hamamayu hayuning bawana.” ujar Lego Benongo, seraya menyilangkan golok di dadanya. “Tidak salah yang andika ucapkan, Ki Sanak?” Ki Sakawarki mengurungkan gerakan silatnya, sejenak berdiri dan mencerna ucapan Lego Benongo. “Mungkin inikah yang dinamakan sesat?” “Siapa yang sesat? Andikalah dan para wali, juga penguasa negeri Demak Bintoro yang sesat?” lalu Lego Benongo menyelinap di antara lautan prajurit yang merangsek, setelah itu melarikan diri. “Aku jadi kehilangan kejaran.” Ki Sakawarki mengincar salah seorang pasukan gelap sewu untuk ditangkap.

Mereka terlihat berlarian dari medan tempur setelah pimpinannya menghilang ditelan gelapnya malam. “Sulit juga menangkapnya. Mereka pintar menyelinap!” “Kademangan Bintoro telah terbebas dari pemberontak!” teriak para prajurit. Sebagian berjaga-jaga, yang lainnya menolong yang terluka, serta mengangkut korban tewas. “Ki Sakawarki, benar bukan mereka muridnya Syekh Siti Jenar?” Ki Demang Bintoro berdiri di samping Ki Sakawarki. “Ya, namun mungkinkah beliau mengajarkan ajaran seperti ini?” “Mengapa tidak mungkin?” ujar Ki Demang, “Bukankah kita sudah berhasil menangkap hidup-hidup salah seorang muridnya yang mengaku anggota pasukan gelap sewu. Orang ini kita bawa ke pusat kota Demak untuk memasuki persidangan para wali sebagai saksi dan bukti.” “Dimana dia?” “Dia berada dalam penjagaan para prajurit.” Ki Demang menunjuk ke utara, seraya kakinya melangkah pelan. “Mari kita tanyai!”

“Baiklah, mudah-mudahan bisa memperkuat dugaan kita dalam persidangan di majelis para wali.” Ki Sakawarki melangkah pelan disamping Ki Demang Bintoro. Ketika langkah keduanya hampir mendekat, para prajurit penjaga berteriak. Menyampaikan kabar bahwa, murid Syekh Siti Jenar bunuh diri dengan membenturkan kepalanya ke dinding hingga kepalanya pecah. Mendengar kabar demikian, Ki Sakawarki dan Ki Demang terkejut. Keduanya saling tatap seraya mengurut dada dan menarik napas dalam-dalam. “Sangat kuat pengaruh ajaran Syekh Siti Jenar, Ki Sakawarki.” Ki Demang Bintoro menggeleng-gelengkan kepala saat melihat jasad anggota pasukan Gelap Sewu yang terbujur kaku dengan kepala pecah, berlumuran darah. “Ajaran hidup mati, mati hidup.” “Ki Demang, kita sudah bisa mengambil kesimpulan bahwa benar ajaran Syekh Siti Jenar itu sesat dan menyesatkan.” Ki Sakawarki berjongkok disamping jasad. “Cukup bukti kita untuk kembali melaporkan hal ini ke hadapan para wali, Ki Sakawarki.” “Benar, kita harus segera melapor ke pusat kota Demak!” Demang Bintoro menganggukan kepala. “Sebagai bukti tidak ada salahnya jika jasad ini dibawa.” “Menurut hemat saya sebaiknya jasad ini kuburkan saja di sini selayaknya.

Kasihan jika harus dibawa ke Demak, sebab perjalanan kita memakan waktu hampir seharian. Setelah itu baru keesokan harinya kita bisa menguburkan setelah diperiksa para wali.” terang Ki Sakawarki. “Tidak ada salahnya jika jasad ini dikuburkan berbarengan dengan korban lainnya.” “Tapi dia beraliran sesat, Guru?” ujar seorang santri yang berjongkok disampingnya. “Ajarannya yang kita anggap sesat. Bukankah jasadnya tetap perlu kita hormati dengan penguburan yang selayaknnya.” terang Ki Sakawarki. “Saya setuju,” Demang Bintoro menganggukan kepala, “Prajurit kuburkanlah mereka dengan layak, begitu juga para korban tewas lainnya.” lalu memerintah. *** Padepokan Syekh Siti Jenar yang berada di kaki bukit Desa Khendarsawa, tampak hening. Matahari pagi mulai meninggi, kirimkan sinar terang dan kehangatannya. Cahayanya menerobos setiap celah dan ruang yang berada di atas bumi, tidak ada kecuali, tidak pula membeda-bedakan, seluruhnya terbagi sesuai dengan ketinggian matahari berada. Nun jauh di atas jalan yang terbentang panjang dan penuh kelokan, dua orang penunggang kuda bergerak cepat. Jalan yang membelah Desa Khendarsawa akan melintas ke arah padepokan Syekh Siti Jenar.

Penunggang kuda yang berada disampingkanannya tampak tegap dan kuat, tangan kirinya menuntun kuda disebelahnya, tampak terhuyung. Meringis kesakitan, tangannya berkali-kali memijit dadanya. “Aduhhhhh…..sakit…sesak….” keluhnya. “Tenang, Gempol. Padepokan Syekh Siti Jenar telah dekat.” ujar Kebo Benowo, mempercepat langkah kuda yang ditungganginya. “Saya sudah tidak kuat lagi, Ki Benowo.” keluh Loro Gempol, “Punya ajian apa sesungguhnya Kiai Kademangan Demak itu?” “Saya juga tidak tahu, Gempol.” terang Kebo Benowo, “Kita tanyakan semua ini pada guru kita di padepokan nanti. Hussss…hiahhh!” Kuda yang ditunggangi Kebo Benowo dan Loro Gempol, berhenti di kaki bukit, persis di depan jalan menanjak. Tanah bukit yang dipapas menyerupai anak tangga bertingkat itu tepat berada di bawah padepokan Syekh Siti Jenar. Kebo Benowo loncat dari atas kuda, perlahan menurunkan Loro gempol yang terhuyung.

Keduanya menaiki tangga dengan berat, setelah mengikat kedua kuda tunggangannya di bawah pohon rindang. “Keparat!” geram Loro Gempol, “Keterlaluan Syekh Siti Jenar ini, tinggal di dataran tinggi…..” keningnya meneteskan keringat dingin, tangannya memijat dada, langkahpun tidak seimbang. “Tidak perlu bicara seperti itu, Gempol.” bisik Kebo Benowo. “Adikan masih tidak menyadari juga kalau guru kita ini memiliki kesaktian tinggi? Apa pun yang kita bicarakan meskipun jauh beliau bisa mendengarnya.” “Omong kosong! Jika memang demikian tentu dia tahu ketika kita berada dalam kesulitan….” gerutu Loro Gempol. “Sssssssttttttt…” Kebo Benowo meletakan telunjuk dimulutnya. “Andika belum paham juga dengan ajaran hamamayu hayuning bawana.” terdengar suara Syekh Siti Jenar tepat ditelinga keduanya, “….bukankah kalian tidak boleh menebar kerusakan dimuka bumi ini, justru harus sebaliknya.” “Syekh?” Kebo Benowo terperanjat, begitu juga Loro Gempol. “Tuh, benar yang saya katakan, Gempol?” “Ya,…..” wajah Loro Gempol mendadak pucat dan cemas. “Maafkan saya, Syekh. Tidak ada maksud untuk menjelekan…” lalu memutar kepalanya, mencari wujud yang memiliki suara.

“Andika tidak akan bisa melihat saya di sana. Karena wujud saya tidak di sana.” suara Syekh Siti Jenar semakin menempel di dalam gendang telinga keduanya. “Dimanakah, Syekh?” teriak Kebo Benowo, tidak menghentikan langkahnya. Hingga keduanya telah berada di atas tangga terakhir, dalam jarak beberapa depa dari gerbang padepokan. “Itu beliau, sedang berbincang-bincang dengan Ki Ageng Pengging.” matanya terbelalak. “Lalu suara tadi?” Loro Gempol menggeleng-gelengkan kepala. “Bukankah yang berada di halaman padepokan itu Syekh Siti Jenar dan Ki Ageng pengging? Sedang bercakap-cakap. Mengapa suaranya…..” “Syekh, ketika saya sudah berada dalam tahapan ma’rifat, sangatlah sulit untuk mengungkapkannya dengan kalimat.” Kebo Kenongo berdiri dihadapan Syekh Siti Jenar. “Tadinya saya ragu, tidak bisa mencapainya.” “Ya, itulah ma’rifat.” Syekh Siti Jenar menganggukan kepala, “Terasa lebih nikmat dibanding berada pada tahapan thariqat.” “Benar, Syekh.” Kebo Kenongo menganggukan kepala, “Kenikmatan dalam ma’rifat sepertinya sangat indah.

Dunia ini terasa sangatlah kecil dan tidak berarti….” “Ma’rifat itu berada dalam alam jiwa, Ki Ageng Pengging.” Syekh Siti Jenar mengibaskan jubah hitam yang berlapis kain merah di dalamnya. “Sedangkan kita sekarang berada dalam alam jiwa dan jasad. Jasad tetap harus terbungkus pakaian dan jubah, meski bukan kepuasan, tetapi hanyalah syarat yang dinamakan kehidupan bagi orang kebanyakan. Satukanlah jiwa dan jasad itu, maka disitulah ma’rifat seutuhnya akan terwujud.” “Jadi ma’rifat yang saya alami belum utuh, Syekh?” “Tentu.” Syekh Siti Jenar menganggukan kepala. “Kita sebelum mengenal Gusti dan menuju akrab, hendaklah mengenali dulu diri sendiri. Ki Ageng Pengging, saat ini sudah masuk pada tahapan yang saya maksud.” “Jadi saya baru mengenal diri?” “Setelah itu kenalilah Gustimu, barulah akrab. Sebelum akrab ma’rifatlah seutuhnya.” terang Syekh Siti Jenar, “Satukanlah yang tercabik, genapkanlah yang ganjil, dekatkanlah yang jauh, rapatkanlah yang renggang. Hingga manunggaling kawula wujud.” “Manunggaling kawula wujud?” “Maunggaling kawula wujud, ma’rifat seutuhnya.

Tahapan orang yang mengenal dirinya, hingga berikutnya manunggaling kawula gusti. Wujud adalah jiwa, jiwa adalah jasad, jasad maujud jiwa, jiwa maujud jasad.” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak, perlahan tubuhnya menembus pohon, lalu mengeluarkan sebelah tanganya dari dalam. “Saya berada dalam pohon, setelah itu kembali.” “Ya, Allah.” Kebo Kenongo terkagum-kagum, matanya seakan-akan tidak bisa berkedip, menyaksikan Syekh Siti Jenar yang telah keluar dari dalam batang pohon. “Betapa hebatnya ilmu yang Syekh miliki.” “Ilmu itu milik Allah. Saya adalah manusia biasa, itu hanya menjelaskan manunggaling kawula wujud. Hingga wujud ini bisa menjadi halus seperti jiwa, jiwa pun bisa keras seperti wujud.” lalu Syekh Siti Jenar duduk bersila di atas rumput hijau, tidak bergerak. Perlahan keluar satu sosok Syekh Siti Jenar lain, lalu melangkah mengitari yang sedang bersila. “Inilah jiwa, inilah jasad, maka menyatu, manunggaling kawula wujud.”

“Subhanallah…..” Kebo Kenongo terbelalak untuk kesekian kalinya, kedipun seakan-akan hilang dari kelopak matanya. “Itulah manunggaling kawula wujud. Dalam tahapan ma’rifat seutuhnya manusia bisa memisahkan jiwa dengan jasad, menyatukannya kembali. Namun itu bukanlah mati, sebab jasad yang saya lepas dalam keadaan hangat. Hanya gerak dan geriknya berada di luar.” “Lantas orang yang bisa meringankan tubuh dan mengeluarkan tenaga dalam, membuat musuh terpental, berada pada tahapan apa?” “Dalam tahapan syariat.” Syekh Siti Jenar lalu memukul batu padas seukuran kelapa, diremasnya hingga bertebaran laksana debu. Jasadiah yang dilatih akan menghasilkan kanuragan, dipadukan dengan batin keluar tenaga dalam.” lalu membuka telapak tangan dan dihentakan pada batang pohon.

Krak, patah, dan jatuh di samping Kebo Kenongo. Kebo Benowo dan Loro Gempol sama sekali tertahan menyaksikan Syekh Siti Jenar dengan ilmunya yang tinggi sangat sulit mencari bandingannya. “Harus selalukah mengeluarkan tenaga dalam dengan batin?” “Maksud batin disini bukanlah ada pada tingkatan ma’rifat, tetapi pikiran dan hati yang terfokuskan. Konsentrasi.” terang Syekh Siti Jenar, “Untuk mencapai ilmu kanuragan dan sebangsanya yang meliputi kekuatan jasadyah, tidak perlu mencapai ma’rifat.” “Termasuk hakikat dan thariqatnya?” “Benar, karena kanuragan masih berada dalam lingkar jasadyah, keangkuhan, kesombongan, emosional, semangat untuk mencari lawan, memukul, dan amarah.” “Saya paham, Syekh.” Kebo Kenongo mengangguk-anggukan kepalanya, “Meskipun sangat hebat dan sakti orang yang berada dalam tahapan ma’rifat tidak akan sewenang-wenang mempertontonkan kesaktiannya, karena segala hal dalam dirinya telah terkendali termasuk nafsunya.” “Ki Ageng Pengging, jangan melupakan kebutuhan jasad! Meski kita berasa pada tahap ma’rifat seutuhnya.” ujar Syekh Siti Jenar, “Kebutuhan jasad adalah syarat hidup, meski sebetulnya tidak makan pun tidak akan merasa lapar.

Bersambung

No comments:

Post a Comment