Friday, September 28, 2018

Syeh sitijenar vs walisongo bagian 12

Membaca basmallah pun tidak terlalu lancar, tetapi karena hatinya bening, bisa terjadi pertolongan Allah datang tanpa diduga. Sebab hancurnya setiap amalan dan hasil ibadah kita akibat tercemarinya hati.” urai Syekh Siti Jenar. “Maksudnya?” tanya Ki Donoboyo. “Bukankah ketika kita telah berbuat baik, menjadi sebuah catatan amal. Lalu catatan amal tadi bisa tercoreng karena dalam hati timbul ria dan ta’kabur?” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak, “Bukankah dalam hadistnya Kanjeng Nabi menjelaskan, pada suatu ketika Islam itu hanya tinggal namanya, Alquran tinggal tulisannya……..” “Keberkahannya yang lenyap, Syekh?” potong Kebo Kenongo, “Banyak orang memahami ajaran Islam bahkan pasih membaca alquran, tetapi prilakunya menyimpang. Kadangkala Alquran dan agama hanya dijadikan alat…” “Ya, dijadikan alat untuk berkuasa dan menguasai serta membodohi rakyat. Seperti halnya para penguasa negeri Demak Bintoro…” “Hentikan, Ki Chantulo! Saya tidak mengharuskan menuduh orang lain seperti yang diuraikan di atas.

Jika demikian berarti jiwa dan hati kita pun sudah tercemari dengan rasa benci dan berburuk sangka. Biarlah Allah yang menilai baik dan buruknya seseorang. Bukankah dalam setiap diri manusia ada malaikat pencatat amal kebaikan dan kejelekan?” tatap Syekh Siti Jenar, “Mana mungkin orang bisa menapaki ma’rifat, jika hati belumlah bening.” “O…” Ki Donoboyo mengangguk, “…pantas saya belumlah sampai pada tahapan ma’rifat. Jiwa saya terkadang terusik keadaan dan situasi, yang menurut penilaian saya jelek.

Padahal jelek itu bukan menurut pribadi, juga berdasarkan aturan agama yang saya anut.” “Menurunkan penilaian jelek pada orang lain, karena jiwa kita sedang disisipi perasaan merasa paling benar.” ujar Syekh Siti Jenar, “Karena kita sedang merasa paling benar, akan selalu menganggap orang lain salah. Selalu saja ingin mencela, mencercerca, memaki, dan melontarkan ejekan. Padahal kebenaran yang ada dalam diri manusia bersipat nisbi. Kebenaran mutlak hanyalah milik Allah. Seandainya kita selalu menganggap diri paling benar, maka akan lupa introspeksi diri, meski prilaku kita sudah jelas sangat salah menurut banyak orang.” “Ya,” Ki Donoboyo mengangguk, begitu juga yang lainnya, “Justru yang sulit itu mengintrospeksi diri, Syekh?” “Benar, sehingga hal itu jika diperturutkan akan membunuh kehormatan sendiri.

Kita akan dibuatnya tidak berdaya. Karena merasa selalu benar, saat orang lain meluruskan dan mengingatkan sangat sulit diterima. Perlahan orang akan menjauh. Jika dia berkuasa dan memiliki pengaruh maka akan digunjingnya dibelakang, jadi bahan obrolan.” “Itulah para pejabat negeri Demak Bintoro….” “Sssssssttttttt, ingat Ki Chantulo?” Syekh Siti Jenar menempelkan telunjuk dibirnya, “Bukankah andika ingin mencapai ma’rifat?” “Maafkan, Syekh.” Ki Chantulo merunduk, “Mengapa saya sulit menahan dan mengendalikan jiwa yang bergolak. Ketika tidak setuju dan benci akan penyimpangan, terutama dari…..” “Sudahlah, bukankah tadi saya telah mengurainya?” “Jika andika berupaya, insya Allah akan sampai pada tujuan.” terang Syekh Siti Jenar. “Sampurasun…” terdengar suara dari kaki bukit, menggema. “Syekh, rupanya kita kedatangan tamu yang memiliki tenaga dalam hebat.” ujar Ki Donoboyo.

“Tahukah andika siapa yang datang?” tanya Syekh Siti Jenar. “Belum terlihat, sama sekali tidak tahu.” jawab Ki Donoboyo, meninggikan kakinya, matanya tertuju ke arah jalan yang akan dilewati tamu. “Tidaklah perlu meninggikan kaki, apalagi menajamkan penglihatan…” “Siapakah dia, Syekh?” tanya Ki Donoboyo, begitu juga yang lainnya. “Mereka utusan dari negeri Demak Bintoro.” “Artinya mereka akan menangkapi kita?” Ki Chantulo menepi. Belum juga Ki Chantulo meneruskan perkataannya, utusan Demak Bintoro telah terlihat menaiki anak tangga padepokan Syekh Siti Jenar.

Paling Depan Pangeran Bayat berdampingan dengan Sunan Kudus, diikuti Pangeran Modang, Sunan Muria dan yang lainnya. “Selamat datang para petinggi Demak Bintoro dan para Wali Agung di padepokan saya, Desa Khendarsawa.” Syekh Siti Jenar dengan senyum ramah menyambut para tamunya, “Maafkan seandainya andika dipaksa harus turun dari punggung kuda dan berjalan menaiki anak tangga padepokan yang tidak sedikit. Mungkin langkah andika tersita dan melelahkan?” “Alhamdulillah, Syekh.” ujar Sunan Kudus, “Meski pun kami dipaksa harus berjalan kaki bukanlah soal. Karena sesulit apa pun menuju padepokan ini akan kami lakukan, yang jelas bisa menemui andika.” “Bukankah setelah kesulitan ada kemudahan? Mungkin saja bagi andika semua belumlah bisa bertemu kemudahan dengan segera. Bisa jadi kesulitan yang berikutnya….” “Apa maksud andika, Syekh?” Pangeran Modang geram, lalu mendekat dengan sorot mata beringas, “Hargailah, kami ini utusan Agung dari Kasultanan Demak Bintoro!”

“Apakah sikap saya tidak ramah? Bukankah dari tadi sudah mempersilahkan? Butakah Pangeran pada tujuan sesungguhnya bertemu kami di padepokan? Sehingga membentak saya yang berkata seadanya?” Syekh Siti Jenar tetap tenang, selalu tersungging senyuman tipis dari bibirnya, serta air mukanya yang memancarkan cahaya. “Perkataan andika tadi, Syekh!” Pangeran Modang semakin beringas, tangan kanannya menggenggam gagang keris. “Pangeran, tenanglah!” sela Sunan Kudus, “Izinkanlah saya dulu beramah-tamah dengan Syekh Siti Jenar.” tatapan matanya menyapu wajah Pangeran Modang yang geram. “Maaf, Kanjeng.” Pangeran Modang mundur, kembali pada tempatnya. “Habis penghuni padepokan ini tidak tahu ramah tamah.

Bagaimana menyambut tamu terhormat, kami ini para pejabat.” gerutunya. “Dimas Modang, sudahlah!” lirik Pangeran Bayat. “Baiklah, Kakang.” lalu menundukan kepala, setelah beradu tatap dengan Pangeran Bayat dengan sorot mata tajam. Keadaan hening sejenak, tidak ada percakapan dalam beberapa saat. Angin kencang dan mega yang tadinya bergulung-gulung telah kembali tenang. Matahari sore yang tampak terhalang mega tipis mulai bisa menatap padepokan milik Syekh Siti Jenar, seakan-akan ingin menyaksikan sebuah peristiwa yang akan terjadi. Sehingga dengan berani matahari mengusir penghalang dari pandangannya, untuk menyaksikan kejadian penting di Desa Khendarsawa.

Mulailah Sunan Kudus beramah-tamah setelah terganggu dan terusik bentakan Pangeran Modang. Meski Pangeran Bayat dan yang lainnya tampak tegang, seperti halnya Ki Chantulo dan Ki Donoboyo, sangat berbeda dengan Syekh Siti Jenar, yang selalu tenang dan menebar senyum. Para murid Syekh Siti Jenar berdatangan dan berada dibelakang Kebo Kenongo, mereka menilai dan memperhatikan pertemuan itu dengan tahapan ilmu yang berbeda. Tentu saja dalam mencerna dan memahaminya pun akan beragam. “Syekh, saya mendengar kabar jika andika dan pengikut telah menyebarluaskan ajaran sesat dan menyesatkan.” tatap Sunan Kudus. “Ajaran sesat dan menyesatkan?” Syekh Siti Jenar menyapu wajah Sunan Kudus dan para pengikutnya dengan sorot mata tenang, “Jika seandainya telah melakukan hal tadi, artinya saya telah keluar dari ajaran Islam yang sesungguhnya.” “Nah, itulah, Syekh.” ujar Sunan Kudus, “Alangkah lebih baiknya andika bertobat dan kembali pada jalan lurus. Ajaran Islam yang sesungguhnya, tidak lagi mengajarkan kesesatan.

Mumpung masih diberi sisa umur oleh Allah SWT….” “Tapi meskipun andika telah menyadari bahwa itu ajaran sesat, tetap saja proses hukum harus dilalui!” sela Pangeran Modang. “Meskipun andika sudah punya niat untuk bertobat…” “Bicara apa andika, Pangeran?” tatap Syekh Siti Jenar. “E..eeh..” Pangeran Modang melangkah, “Syekh, andika selalu saja membantah dan melawan pada pejabat negara! Yang saya katakan aturan hukum dan negara!” geramnya seraya menghunus keris dan mendekat. “Kenapa andika tidak bisa tenang, Pangeran?” Syekh Siti Jenar mengangkat tangannya ke atas, “Maafkan, Kanjeng Sunan. Juga Pangeran Bayat haruskah saya mendiamkannya?” “Keparat! Memang andika ini apa?” Pangeran Modang menorehkan keris ke dada Syekh Siti Jenar, yang diserangnya tidak menghindar meski sejengkal tanah. “Diamlah andika!” ujar Syekh Siti Jenar. Langkah Pangeran Modang terhenti, berdiri sambil mengayunkan keris dihadapan Syekh Siti Jenar, bergeming laksana patung. Meski seribu kali geram, namun tubuh tidak lagi memiliki daya dan upaya untuk bergerak. “Kanjeng Sunan Kudus?” bisik Pangeran Bayat, “Apa yang dilakukannya terhadap Dimas Modang?” “Jangan khawatir, Pangeran.” lirik Sunan Kudus, “Mungkin agar perbincangan saya tidak terusik dengan tindakan Pangeran Modang, yang sebenarnya membahayakan dirinya sendiri.”

“Ya, saya paham, Kanjeng.” Pangeran Bayat menganggukan kepala. “Kabar, Kanjeng Sunan Kudus?” tatap Syekh Siti Jenar. “Ya, Syekh.” “Bukankah kabar itu sesuatu yang belum pasti?” “Hari inilah saya datang ke padepokan andika untuk membuktikan kabar tadi.” “Bahwa saya telah mengajarkan dan menyebarluaskan ajaran sesat dan menyesatkan?” Syekh Siti Jenar perlahan mengangkat wajahnya ke langit, lalu kembali menatap Sunan Kudus. “Bukankah andika tadi sudah menyadari, Syekh?” tatap Sunan Kudus, “Jika andika menyebarkan kesesatan artinya telah keluar dari ajaran Islam yang sesungguhnya….” “Benar, Kanjeng.” tampak tersenyum, “Seandainya saya melakukan kesesatan dan menyebarluaskannya. Artinya saya telah murtad, kafir, mungkin juga musyrik. Tetapi benarkah tuduhan itu? Bahwa saya telah sesat dan menyesatkan dengan ajaran yang saya sebarkan.

Bukankah saya menyebarkan ajaran Islam? Meskipun kita hanya memiliki satu ayat menurut Kanjeng Nabi, maka sampaikanlah. Tidak bolehkah menyampaikan sesuatu tentang ajaran Islam yang saya anggap benar dan harus disebarluaskan?” “Memang itu tidak salah! Sudah seharusnya karena mengajarkan dan menyebarluaskan agama merupakan kewajiban kita sebagai umatnya.” Sunan Kudus berhati-hati, “Tetapi andika sudah dianggap melenceng, bahkan sesat.” “Mengapa saya dianggap melenceng dan sesat? Karena saya bukan seorang wali seperti andika? Mungkinkah karena saya hanya seorang rakyat jelata?” “Tidak,” “Lantas?” “Ya, ajaran itulah yang mengkhawatirkan? Jika andika terus menyebarkan ajaran sesat saya khawatir rakyat yang menerimanya keluar dari esensi Islam yang sesungguhnya.” “Andika dari tadi menuduh saya telah menyebarkan kesesatan, Kanjeng.” Syekh Siti Jenar menyapu wajah Sunan Kudus dengan tatapannya. “Dimanakah letak kesesatan ajaran Islam yang saya sebarkan?”

“Baiklah,” Sunan Kudus berhenti sejenak, lalu mengerutkan keningnya. Seakan-akan ada sesuatu yang sedang dicerna dalam pemikirannya. “Andika tidak mengajarkan syariat Islam?” “Syariat Islam?” “Andika tidak mewajibkan salat lima waktu, puasa pada bulan Ramadhan….seakan-akan rukun Islam tiada…” “Tidak,” “Mengapa? Bukankah itu hukumnya wajib?” “Tentu saja.” “Disitulah salah satu kesesatan yang andika ajarkan, Syekh!” “Kanjeng Sunan, mengapa hal tadi merupakan salah satu kesesatan yang saya ajarkan?” “Dimana ukuran sesatnya?” “Ya, itu tadi. Mestinya andika mewajibkan salat lima waktu dan puasa di bulan Ramadhan!” “Jika saya harus mewajibkan salat lima waktu dan puasa pada bulan Ramadhan, tidakkah salah?” “Justru andika telah salah dan sesat, Syekh!” “Maaf, andika keliru, Kanjeng.

Bukankah saya sebagai manusia biasa tidak punya kewenangan untuk membuat suatu hukum atau aturan, apalagi berkaitan dengan syariat.” Syekh Siti Jenar tersenyum, “Tidak seharusnya saya memerintahkan wajib pada murid saya tentang salat lima waktu dan puasa di Bulan Ramadhan. Sebab hal itu sudah menjadi ketetapan Allah dalam Alquran, haruskah saya menciptakan hukum baru?” “Andika ini melantur, Syekh. Memutarbalikan kata?” “Saya tidak sedang melantur, Kanjeng.

Wajib itu menurut Allah dalam kalimat yang tersurat. Saya sebagai manusia biasa tidak bisa menyebutkan bahwa itu wajib. Jika demikian artinya telah melebihi Allah….” “Bagamaina andika ini, Syekh? Pembicaraan itu seperti anak kecil! Mengada-ngada. Mereka-reka kata, memutar-mutar kalimat!” “Bukankah manusia dalam kehidupannya hanya memainkan kata dan kalimat? Tebaklah permainan kata dan kalimat tadi. Telusurilah tuduhan pertama tentang hal tadi yang andika anggap sesat dan menyesatkan umat….” “Apa yang mereka bicarakan?” gumam Pangeran Bayat mengerutkan keningnya. “Islam itu agama syariat!” ujar Sunan Kudus, “Nampaknya seseorang menganut ajaran Islam karena ada syariat yang dijalankan. Iman itu adanya didalam hati. Rukun Islam itu melibatkan fisik, lahiryah. Misalkan syahadat, shalat, puasa, zakat, dan ibadah haji, tentu terlihat dalam bentuk pengamalannya.” “Tidak bolehkah di dalam Islam mempelajari hakikat, thariqat, dan ma’rifat?”

“Boleh saja. Sebelum mempelajari yang tiga tadi perlajari dulu ajaran syariatnya.” tukas Sunan Kudus, “Sehingga tidak seharusnya andika mentidakwajibkan melaksanakan syariat. Jelas itu sesat!” “Bukankah saya sebagai manusia, Kanjeng?” ujar Syekh Siti Jenar, “Secara syariat dan lahiryah, manusia tidak punya keharusan, bahkan mewajibkan, tentang sebuah perintah terkait syariat…” “Sudah, Syekh!” Sunan Kudus menghela napas dalam-dalam, “Andika malah kembali memutar balikan kalimat.

Islam ini agama yang berdasarkan dalil dalam Alquran, bukan berdasarkan pemikiran, pentafsiran, dan hasil proses penelaahan andika semata…” “Baiklah jika ini tetap dianggap memutarbalikan kata menurut andika.” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak, “Artinya perbincangan ini telah selesai…” “Tidak semudah itu, Syekh!” Sunan Kudus mendekat, “Andika tidak bisa menghindar dari hukum…” “Hukum?” “Ya, hukum negara Demak Bintoro. Andika telah dianggap sesat dan menyesatkan. Persoalan yang pertama tidak menganggap salat lima waktu, puasa serta syariat lain wajib.” Sunan Kudus berhenti sejenak, “Kedua andika telah mengajarkan manunggaling kawula gusti.” “Salahkah ajaran manunggaling kawula gusti, Kanjeng?” “Jelas, artinya andika telah menganggap manunggal dengan Gusti Allah. Musrik, sesat, serta menyamakan derajat andika dengan Allah SWT….” “O…demikiankah?” Syekh Siti Jenar, menggunakan tatapan batinnya menembus jiwa Sunan Kudus. “Rasanya tidak tersentuh…” “Apa?” “Kanjeng, tidak perlu panjang lebar. Jika yang andika inginkan menangkap saya. Maka tangkaplah!” lalu menoleh ke belakang, tampak para muridnya berdiri. “Menghilanglah kalian….” “E..eeh…” Pangeran Bayat tercengang, “Murid Syekh Siti Jenar semuanya lenyap.

Kemana mereka?” “Tangkap dan bawalah saya ke pusat kota Demak Bintoro…..” tubuh Syekh Siti Jenar perlahan samar, tembus pandang, menyerupai kabut, tertiup angin sepoi berhamburan. “Kemana dia?” Pangeran Modang baru bisa bergerak, “E…ee..saya telah kembali, Kakang!” dengan girang serta memegang kepala, dada, dan bahunya. “Hebat juga ilmu sihirnya. Bisa menyihir saya hingga tidak bisa beranjak dari berdiri. Sekarang dia menghilang tertiup angin.” “Kanjeng?” tatap Pangeran Bayat, “Bagaimana menurut pendapat, Kanjeng Sunan Kudus?” “Kita kembali ke Demak!” Sunan Kudus membalikan tubuh. “Bukankah kita harus membawanya, Kanjeng?” tatap Pangeran Modang. “Seandainya Pangeran sanggup menangkapnya? Silahkan! Saya menunggu di sini.” “Dia sangat sakti, Kanjeng.” Pangeran Modang mengerutkan keningnya serta menggeleng-gelengkan kepala, terkadang menatap Pangeran Bayat. “Dimas Modang, kita kembali ke Demak!” ujar Pangeran Bayat, “Saya setuju dengan Kanjeng Sunan Kudus.” “Lho…?” Pangeran Modang, menggerutu dalam hatinya, terkadang memijit-mijit keningnya. Sunan Kudus, Pangeran Bayat, dan yang lainnya beranjak dari padepokan Syekh Siti Jenar.

Tidak ada satupun yang berbicara, termasuk Pangeran Modang, semuanya seakan-akan hanyut dan tenggelam dalam persoalan. Meninggalkan Desa Kendharsawa menyisakan beragam pemikiran, penalaran, dengan analisis beragam sesuai dengan kemapuan dan ilmu yang dimiliki mereka. “Mereka kembali, Syekh.” ucap Ki Ageng Tingkir, “Padahal kita tidak kemana-mana…” “Ya, hanya tabir tipis saja yang menghalangi pandangan mata lahiryah mereka.” Syekh Siti Jenar melangkah pelan.

“Mengapa mereka demikian, Syekh?” Ki Donoboyo mendekat, “Tidakkah mereka memiliki ilmu yang setarap dengan, Syekh?” “Jika andika bertanya tingkatan, artinya ada yang tinggi dan rendah.” Syekh Siti Jenar menghentikan langkahnya, “Padahal tidak semestinya kita menilai manusia dengan tingkatan. Semua manusia dihadapan Allah sama. Yang membedakan hanyalah cara mensyukuri segala hal yang diberikanNya.” “Maksudnya?” “Menggunakan sesuatu sesuai dengan yang seharusnya….” “Masih bingung, Syekh?” Ki Donoboyo garuk-garuk kepala. “Sang Pencipta telah menciptakan tangan untuk apa? Kaki sesuai fungsinya, tentunya untuk berjalan…” Kebo Kenongo mencoba menjelaskan, “Mata untuk melihat, akal untuk berpikir…” “Itulah artinya mensyukuri nikmat, secara singkat.” tambah Syekh Siti Jenar. “Seandainya mereka mengasah mata batin, tentu bisa memandang keberadaan kita. Tidak ada sesuatu yang tersembunyi meski sebesar zarah, atom, lebih kecil dari debu, seandainya mata hati kita telah terbuka.” “Kenapa saya juga belum bisa?” tanya Ki Donoboyo. “Sebetulnya mereka pun, atau ki Donoboyo sudah bisa, tetapi tidak secantik saya melakukannya.” Syekh Siti Jenar tersenyum, “Orang lain akan mengatakan mungkin saya yang telah lebih dulu, dia belakangan.” “O, Syekh tahapan lebih tinggi mereka lebih rendah.

Pantas tingkat ketinggian pun bisa mempengaruhi sudut pandang dan jangkauan mata kita.” ujar Ki Chantulo, “Di atas ketinggian apalagi dipuncak gunung semuanya akan terlihat, berbeda dengan mereka yang masih di kaki gunung…” “Hahahaha….” Ki Donoboyo tertawa jika demikian saya paham, “Pantas mereka cepat pergi karena merasa kalah dan tidak mampu menangkap kita.” “Tidaklah perlu terlalu gembira.” tatap Syekh Siti Jenar, “Mereka tidak akan berhenti sampai disitu. Suatu ketika akan kembali dan menjemput saya…” “Siapakah yang mampu mengalahkan kesaktian, Syekh?” tanya Ki Donoboyo. “Rasanya saya tidak perlu mendahului kehendakNya. Di antara para wali tentu saja….” Syekh Siti Jenar mendadak menghentikan kalimatnya, wajahnya mendongak ke langit. “Hampir gelap. Andika sebaiknya turunlah dari padepokan ini, keluarlah dari Khendarsawa.

Sebarluaskan ajaran kita! Meski jasad kita telah terkubur, ruh, dan ajaran tidak akan pernah mati. Kecuali sebagian saja yang tinggal di padepokan ini….” Tiba-tiba kilat membelah langit, diikuti suara guntur menggelar memekakan gendang telinga. Perkataan Syekh Siti Jenar seakan-akan mendapat restu dan kesaksian dari langit. “Hamamayu hayuning bawanna…” gumam Ki Chantulo ternganga.

“Gusti, maafkan kami tidak berhasil membawa serta Syekh Siti Jenar.” Pangeran Bayat merunduk di depan Raden Patah. Sunan Giri, Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Gresik, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Ngudung, Sunan Geseng, Sunan Gunung Jati, Sunan Muria, Pangeran Modang dan para adipati telah lama berada di atas tempat duduknya. Dalam batinnya masing-masing memikirkan dan mencerna, sesuai dengan kadar ilmu yang dimilikinya, tentang ketidakberhasilan memboyong Syekh Siti Jenar. “Kami tidak sanggup melawan ilmu sihirnya, Gusti.” Pangeran Modang mengacungkan sembah. “Haram! Islam tidak boleh menguasai ilmu sihir apalagi mengamalkannya….” “Maaf, Kanjeng Sunan Giri.” Sunan Kudus angkat bicara, “Saya rasa Syekh Siti Jenar tidak memiliki ilmu sihir…” “Tapi, Kanjeng. Bukankah dia bisa menghilang? Saya sendiri dibuatnya mematung bagaikan arca.” timpal Pangeran Modang. “Itu bukanlah ilmu sihir setahu saya…” Sunan Kalijaga menatap Raden Patah, “Merupakan salah satu ilmu yang diajarkan pada murid-muridnya, terkadang kita menganggapnya sesat. Mungkin karena tidak pernah ditemui dalam syariat Islam.

Umat Islam tidak disyariatkan untuk bisa menghilang…” “Benar,” Sunan Kudus melirik, “…mungkin itulah ajaran thariqatnya.” “Disitulah letak kesalahannya, Kanjeng.” Sunan Giri perlahan bangkit, “Islam itu seakan-akan ilmu yang terkait dengan hal-hal mistis. Sehingga ajaran yang disebarluaskannya bisa menodai perjuangan kita. Padahal selama ini kita berusaha membasmi ajaran-ajaran yang berbau bid’ah, kharafat, tahayul, dan musrik. Toh…dia malah mengajarkan hal-hal aneh. Tidaklah sebaiknya mengajarkan bagaimana…cara shalat yang benar…” “Ya, padahal keimanan rakyat Demak Bintoro pada saat ini masih rapuh.” ujar Raden Patah, “Belum juga memahami bag-bagan fikih…malah loncat ke hal-hal yang berbau mistis.” “Bagi orang awam sudah barang tentu, akan mengulang perbuatan menyimpang dari syariat Islam.” Sunan Kalijaga berhenti sejenak, “Ya, mungkin inilah warna kehidupan.

Saya kira sepenuhnya kebijakan milik negara dan dewan wali…”“Untuk itu tetap, Syekh Siti Jenar harus ditangkap!” ujar Sunan Giri, “Kali ini sebaiknya Sunan Kalijaga saja yang berangkat?” “Saya setuju,” ujar Raden Patah, “Namun tidaklah sendiri…” “Seandainya ini tugas negara dan perintah dari ketua Dewan Wali…insya allah.” Sunan Kalijaga menatap Sunan Bonang, mata hatinya mulai berbincang, ‘Kanjeng, meski bagaimanapun juga tetap hal ini akan terjadi.’ ‘Saya kira guratan taqdir berkata demikian.

Terpaksa atau tidak terpaksa Kanjeng Sunan Kalijaga harus melakukannya.’ tatap Sunan Bonang. “Ada apa Kanjeng Sunan Bonang, Kanjeng Sunan Kalijaga?” tatap Sunan Giri, “Adakah hal penting terkait dengan persoalan ini perlu diperbincangkan?” “Rasanya tidak ada, Kanjeng.” ujar Sunan Bonang, “Mungkin saya akan turut serta bersama Kanjeng Sunan Kalijaga…dan beberapa wali lainnya.” “Baiklah,” Sunan Giri Menganggukan kepala. “Saya akan mengutus Dimas Bayat, Pangeran Modang, dan beberapa prajurit tangguh. Seandainya mereka sulit ditangkap!” ujar Raden Patah. “Saya rasa tidak perlu melibatkan banyak prajurit, Raden.” ujar Sunan Bonang, “Sebab kita tidak sedang berperang melawan pasukan musuh. Tetapi kita hanya ingin menangkap sosok Syekh Siti Jenar yang dianggap sesat dan memiliki ilmu cukup tinggi. Bukan lawan prajurit, dia tidak bisa dikalahkan dengan pasukan. Percayalah pada Kanjeng Sunan Kalijaga…”

“Mudah-mudahan berhasil,” ujar Sunan Giri, “Kita harus segera menjatuhkan hukuman. Jika dibiarkan terlalu lama, saya takut ajarannya semakin meluas. Sebab apa yang diajarkannya sangat kental dengan kehidupan masyarakat Demak sebelumnya.” “Mudah-mudahan,” ujar Sunan Bonang. “Pertama ajarannya benar-benar sesat. Masa tuhan bisa manunggal dengan dirinya, manunggaling kawula gusti.” ujar Pangeran Bayat, “Kedua saya melihat dengan mata kepala sendiri, hadirnya Ki Ageng Pengging alias Ki Kebo Kenongo disampingnya. Jadi tuduhan makar dan isu politik melatar belakangi disebarnya ajaran sesat dan menyesatkan.

Jika hal ini dibiarkan, sangat jelas akan merongrong wibawa dan keutuhan negeri Demak Bintoro. Padahal selama ini kita berusaha membangun, mempertahankan, dan membelanya.” “Ya, saya pun meyakini hal itu, Gusti.” tambah Pangeran Modang, “Selain ingin menodai perjuangan para wali, padahal tujuan utamanya politik. Ingin mendudukan Ki Ageng Pengging sebagai Raja Demak Bintoro. Ditebarnya isu penyebaran ajaran sesat semata untuk mengalihkan perhatian pemerintah, dimana lengah gerakan makar pun berjalan.” “Sejauh itukah pengamatan, Pangeran?” tatap Sunan Geseng, “Padahal saya lebih sependapat dengan Kanjeng Sunan Kalijaga. Hendaklah persoalan politik dipisahkan dulu dengan persoalan agama.” “Maaf, Kanjeng.

Justru agama lebih mudah ditunggangi kepentingan politik, mengingat masyarakat Demak Bintoro mayoritas muslim.” ujar Pangeran Modang, “Saya berkesimpulan demikian berdasarkan hasil penyelidikan, lihat pula latar belakang Ki Ageng Pengging?” “Masuk akal juga,” Sunan Giri menyapu wajah Raden Patah dengan tatapan matanya. “Jika itu terbukti, artinya Syekh Siti Jenar jelas memiliki dua kesalahan. Pertama mengajarkan ajaran sesat, kedua mendukung Ki Ageng Pengging melakukan makar.” ujar Raden Patah. “Untuk membuktikan semuanya, biarlah hari ini juga saya akan menjemput Syekh Siti Jenar.” tatap Sunan Kalijaga, “Hingga kita tidak larut dalam bayang-bayang dugaan…”

Langit mendung, awan hitam bergulung-gulung bergerak cepat kerumuni angkasa. Petir berkilatan, diikuti guntur menggelegar memekakan gendang telinga. Angin bertiup sangat kencang memisahkan daun dan ranting kering dari cabang pepohonan. Bergerak di atas langit Desa Khendarsawa. Petir menyabar batang pohon, terbakar serta jadi arang dalam sekejap. Abunya berhamburan di halaman padepok Syekh Siti Jenar. Para murid Syekh Siti Jenar tersentak, seraya bangkit dari duduknya, puluhan pasang mata tertuju pada batang pohon yang berubah jadi abu dalam sekejap. “Pertanda alam apa lagi?” gumam Ki Chantulo, tatapannya menyapu wajah Syekh Siti Jenar yang tampak tenang. “Kematian…” “Maksud, Syekh?”

“Lihat saja nanti.” melangkah pelan keluar dari ruang padepokan, seakan-akan menyambut tamu yang akan datang. Para muridnya yang berada di dalam ruangan belum juga keluar, mereka hanya mengantar langkah gurunya dengan tatapan mata penuh pertanyaan. Matahari semakin ketakutan, menyelinap di antara gelapnya mega yang bergulung-gulung. Angin semakin kencang dibarengi petir dan kilat, seakan menjadi-jadi. Utusan Negeri Demak Bintoro telah berada di gerbang Desa Khendarsawa. Sunan Kalijaga berdampingan dengan Pangeran Bayat duduk di atas pelana kuda hitam, di belakangnya Pangeran Modang, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Geseng. “Lihatlah, Kanjeng!” Pangeran Modang menunjuk langit, “Sihir Syekh Siti Jenar hebat sekali. Dia bisa menciptakan petir, angin kencang, dan guntur.

Padahal sebelum memasuki Desa Khendarsawa tidak ada.” “Mungkinkah dia telah mengetahui kedatangan kita, Kanjeng?” lirik Pangeran Bayat. “Ya,” jawab Sunan Kalijaga, matanya tertuju ke depan. “Apakah gejala alam ini sengaja dia ciptakan untuk menyambut kedatangan kita?” “Tidak, Pangeran.” “Tapi…bukankah…” “Pertanda alam ini lahir dengan sendirinya.” Sunan Kalijaga memperlambat langkah kudanya, “Ingatkah Pangeran pada ilmu hamamayu hayuning bawanna yang dimilikinya?” “Ya, namun saya kurang paham?” “Inilah bukti kemanunggalan Syekh Siti Jenar dengan alam…” “Maksudnya?” Pangeran Modang ikut bertanya, keningnya berkerut-kerut. “Jika kaki Pangeran terantuk batu, yang berteriak mengaduh kesakitan apakah kaki atau mulut?” “Tentu saja mulut, Kanjeng. Mana mungkin kaki bisa berteriak kesakitan.” Pangeran Modang memijit-mijit kening, “Apa hubungannya ilmu sihir yang ditebarkan Syekh Siti Jenar dengan pertanyaan Kanjeng Sunan Kalijaga?” “Rayi Modang itu ibaratnya?” timpal Pangeran Bayat. “Ah…bingung saya kakang…” Pangeran Modang garuk-garuk kepala. “Kita telah sampai di wilayah Desa Khendarsawa.” Sunan Bonang mengangkat wajahnya ke atas, menatap langit yang tiba-tiba terang benderang.

Tidak ada angin kencang, petir, bahkan guntur. “Aneh?” Pangeran Modang memijit-mijit keningnya, “Lihatlah Syekh Siti Jenar sudah tidak lagi menyihir Desa Khendarsawa. Hebat juga!” Matahari kembali bisa menunaikan sisa tugasnya menatap Desa Khendarsawa, tanpa terhalang mega tebal yang menggumpal. Hanya lapisan, serta lembaran awan putih tipis menyertainya. Laksana lembaran kertas yang akan ikut serta mencatat sejarah kehidupan manusia yang terjadi di bawah tatapan matahari.

Utusan dari Demak Bintoro menambat kudanya di bawah pohon rindang. Sunan Kalijaga melangkah pelan dikuti yang lainnya, matanya menyapu kaki bukit tempat Syekh Siti Jenar bersemayam. Anak tangga berbaris hingga menyentuh ketinggian bukit, untuk mengantar siapa saja yang hendak menemui penghuninya. “Kanjeng, itulah tangga susun menuju padepokannya.” lirik Pangeran Bayat. “Sangat banyak anak tangganya!” gerutu Pangeran Modang, “Hampir tidak terhitung jumlahnya…saking banyaknya…” tangannya menyeka keringat yang menetes dikeningnya. “Ya, itulah tangga kehidupan….” terdengar suara Syekh Siti Jenar menggema. “Lha, dimana orangnya?” Pangeran Modang memutar tatapan matanya, “Mulai lagi menggunakan ilmu sihir…” “Saya kira Syekh Siti Jenar sudah tahu kedatangan kita, Kanjeng?” lirik Pangeran Bayat, “Padahal keberadaan kita masih jauh dari padepokannya…” “Bukan Syekh Siti Jenar jika gelap mata hatinya, Pangeran.

” Sunan Kalijaga tersenyum. “Kanjeng Sunan bisa saja…” gema suara Syekh Siti Jenar. “Selamat datang di padepokan saya saudaraku Kanjeng Sunan Kalijaga, Kanjeng Sunan Bonang dan lainnya.” “Terimakasih, Syekh.” Sunan Bonang beradu tatap dengan Sunan Kalijaga. “Orangnya dimana?” Pangeran Modang berusaha mencari jejak Syekh Siti Jenar dengan tatapan matanya. “Kanjeng, dimanakah dia?” tatapnya pada Sunan Bonang. “Tentu saja di padepokannya, Pangeran.” “Aneh….?” tangannya memijit-mijit kening, “Padahal masih harus melewati beberapa tangga dan bentangan jalan.

Mengapa suaranya sangat dekat, seakan-akan berada dihadapan kita? Tidakah sedang menghilang menggunakan ilmu sihirnya?” “Tidak,” “Heran?” tatap Pangeran Modang pada Sunan Bonang, “Sangat tinggi ilmu sihirnya…” Setahap demi setahap Sunan Kalijaga dan rombongan menginjak tangga yang terbuat dari pahatan batu padas. Berkali-kali Pangeran Modang menghela napas, seraya menyeka keringat.

Seperti yang lainnya, terkecuali Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga tidak tampak lelah apalagi menyeka keringat, tubuhnya seakan-akan tidak memiliki bobot. “Mengapa Kanjeng Sunan mesti menapaki tangga? Tidak sebaiknya langsung saja berdiri dihadapan saya?” gema suara Syekh Siti Jenar. “Tidak semestinya saya meninggalkan rombongan.” Sunan Kalijaga melirik ke arah Sunan Bonang yang tersenyum. “Juga sangat tidak menghargai Syekh Siti Jenar yang telah susah payah menciptakan tangga, jika kaki saya tidak menyentuhnya….” “Kanjeng, apa maksud ucapan Syekh Siti Jenar?” Pangeran Modang melongo. “Aneh…kenapa Kanjeng berdua tidak tampak lelah apa lagi berkeringat…kelihatannya enteng. Apakah Kanjeng juga punya ilmu sihir?” “Mengapa pangeran bertanya demikian?” tatap Sunan Kalijaga, “Padahal kaki saya seperti halnya Pangeran menyentuh tangga.

Bersambung

No comments:

Post a Comment