Tentang pembicaraannya tidak kita pahami.” “Andika sepertinya tertarik oleh Syekh Siti Jenar, Gendut?” si Kerempeng berdiri. “Benar,” jawab si Tambun tenang. “Saya jadi ingin memiliki ilmunya.” “Kenapa mesti berguru pada Syekh Siti Jenar yang tidak jelas asal usulnya? Bukankah Kanjeng Sunan Kalijaga juga sangat sakti dan beliau jelas asal usulnya.” terang si Kerempeng. “Ya, tetapi tidak mudah untuk mendapatkan ilmu dari para wali tanpa melalui tahapan-tahapan yang berat.” ujar si Tambun. “Apa bedanya dengan Syekh Siti Jenar?” si Kerempeng menyandarkan punggung ke pohon beringin. “Jelas beda. Kalau Syekh Siti Jenar sangat mudah memberikan ilmu,” tambah si Tambun. “Tahu dari mana?” si Kerempeng penasaran. “Itu dugaan saya.” jawab si Tambun. “Lha, baru menduga-duga.
Saya kira sudah tahu dan yakin.” ucap si Kerempeng. “Meskipun hanya berupa dugaan tapi saya yakin.” si Tambun membetulkan penutup kepalanya. “Jika Syekh Siti Jenar sangat mudah memberikan ilmu. Makanya ingin membuktikannya, kalau tahu tempat tinggalnya atau padepokannya akan saya datangi.” jelas si Tambun seraya mengangkat tombak, langkah kakinya pelan menuju gerbang alun-alun Demak Bintoro untuk melaksanakan tugas mengganti yang lain. “Cari saja kalau mau!” ujar si Kerempeng melangkah dibelakangnya. “Saya rasa mudah mencari tempat tinggal orang sakti seperti Syekh Siti Jenar. Tentu orang-orang Demak Bintoro pada kenal seperti halnya para wali.” sama-sama menuju gerbang alun-alun. “Pasti.” si Tambun mengangguk-anggukan kepala. “Karena dia salah seorang dari wali, hanya saja tidak termasuk wali sembilan. Mungkin karena tidak tinggal di pusat kota Demak Bintoro.
Mungkin juga dia punya tugas lain di pedesaan dalam penyebaran agama Islam?” langkahnnya terhenti tepat di depan gerbang alun-alun Demak Bintoro. “Kenapa andika punya dugaan, bahwa Syekh Siti Jenar seolah-olah ditugaskan menyebarkan ajaran Islam di Pedesaan?” tanya Si Kerempeng. “Pertama karena dia jarang berkumpul di dalam masjid Demak. Keduanya dia sangat terlihat akrab dengan Kanjeng Sunan Kalijaga yang memilki kesaktian seimbang dengannya.” terang si Tambun. “Bisa jadi?” si Kerempeng mengerutkan dahinya. “Namun meskipun Kanjeng Sunan Kalijaga orang sakti tapi pembicaraannya tentang agama bisa dipahami oleh kita, berbeda dengan Syekh Siti Jenar yang kadang-kadang ucapannya membingungkan kita?”
“Itulah bedanya Kanjeng Sunan Kalijaga dengan Syekh Siti Jenar.” ujar si Tambun, berdiri tegak sambil memegang tombak. “Maksud andika?” “Kalau belajar dengan Kanjeng Sunan Kalijaga untuk sampai pada tahap atas harus bertahap, tidak bisa langsung. Sedangkan Syekh Siti Jenar bisa loncat pada tingkatan yang kita inginkan, buktinya dia berbicara yang tidak bisa kita pahami, berarti sudah bisa loncat.” si Tambun mencoba menerangkan. “Cerdas juga andika, Gendut.” ujar si Kerempeng. “Saya yakin Kanjeng Sunan Kalijaga mengajarkan dengan bertahap karena beliau melihat kemampuan orang yang menerima.
Sedangkan Syekh Siti Jenar tidak, makanya pembicaraannya kadang-kadang melantur.” “Melantur itu menurut kita, karena kita ilmunya masih rendah. Coba saja jika kita sudah berada pada tahapan atas mungkin sangat paham pada setiap ucapan Syekh Siti Jenar.” bela si Tambun. “Tida mungkin,” si Kerempeng mengerutkan dahinya. “Masa dia pernah bilang kalau Allah itu punya empat prajurit? Bukankah Allah itu punya para Malaikat? Kenapa mesti ada lagi prajurit, aneh bukan?” tambahnya. “Justru itulah, kisanak.” si Tambun tersenyum. “Saya penasaran dengan yang disebut empat prajurit Allah oleh Syekh Siti Jenar. Siapakah itu? Dan mengapa prajurit Allah bisa diperintah juga oleh Syekh Siti Jenar. Kalau saya memiliki ilmu seperti itu dan menguasai prajurit Allah seperti dia tentu pangkat akan naik. Tdak lagi jadi prajurit tapi jadi Raja…hahaha.” “Mengkhayal,” si Kerempeng mencibir.
“Syekh, saya telah mencoba untuk menuju ‘manunggaling kawula gusti’.” Kebo Kenongo menghampar serban di depannya. Lalu berdiri. “Andika sekarang akan shalat?” Syekh Siti Jenar duduk bersila di sampingnya. “Bukankah andika telah mencoba menuju maunggaling kawula gusti?” “Benar, namun saya belum sampai. Sekarang saya akan shalat.” terang Kebo Kenongo. “Tujuan andika shalat?” Syekh Siti Jenar tersenyum. “Bukankah shalat jalan kita untuk menuju manunggaling kawula gusti, Syekh?” Kebo Kenongo mengerutkan dahinya. “Bukan.” ujarnya pendek.
Syekh Siti Jenar memutar tasbih seraya mulutnya komat-kamit berdzikir. “Apakah harus berdzikir menuju maunggaling kawula gusti, Syekh?” tanyanya kemudian. “Tidak juga.” jawab Syekh Siti Jenar pendek. “Lantas, untuk apa shalat dan berdzikir?” kerutnya. “Bukankah Syekh pernah mengatakan kalau semua itu upaya untuk mendekatkan diri dengan Allah?” “Jika itu jawaban Ki Ageng Pengging benar adanya.” Syekh Siti Jenar sejenak memejamkan mata, kemudian membukanya lagi dan menatap Kebo Kenongo yang masih berdiri hendak shalat. “Bukankah mendekatkan diri kepada Allah sama saja dengan menuju manunggaling kawula gusti?” tanya Kebo Kenongo selanjutnya. “Tidak juga, Ki Ageng.” ujar Syekh Siti Jenar. “Lantas?” “Manunggaling kawula gusti sangat berbeda dengan mendekatkan diri kepada Allah.” terang Syekh Siti Jenar. “Perbedaannya?” keningnya semakin berkerut. “Karena yang namanya dekat berbeda dengan manunggal.
Manunggal bukanlah dekat. Dekat bukanlah manunggal.” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak. “Namun sekarang sebaiknya Ki Ageng Pengging shalatlah dulu, berceritalah setelah selesai mendirikannya.” tambahnya. “Baiklah, Syekh.” Keadaan di padepokan Syekh Siti Jenar sore itu terasa segar. Panas matahari tidak menyengat seiring dengan bayang-bayang manusia yang kian meninggi.
Udara pegunungan terasa sejuk, pepohonan dan tumbuhan berdaun lebat menambah suasana asri. Padepokan yang ditata sedemikian rupa menambah khusuk para pencari ilmu. “Syekh…” Kebo Kenongo mendekat, “Shalat saya sudah selesai.” “Baiklah,” Syekh Siti Jenar bangkit dari duduknya, “Apa yang andika rasakan saat shalat?” “Tidak ada.” “Tidakah merasakan sejuknya udara pegunungan? Tidakkah andika melihat kain serban yang terhampar di tempat sujud?” lanjut Syekh Siti Jenar. “Tidak,” jawab Kebo Kenongo. “Tidakkah andika mendekati Allah?” tanyanya kemudian. “Saya tidak merasakannya. Tidak pula menjumpainya.” ujar Kebo Kenongo. “Mungkin shalat saya terlalu khusuk.” Syekh Siti Jenar menengadah ke langit, lalu duduk bersila di atas rumput hijau yang dihampari tikar pandan. Gerak-geriknya tidak luput dari pandangan Kebo Kenongo. “Lihatlah!” kedua tangannya ditumpuk di bawah dada.
Tiba-tiba tubuhnya mengangkat dari tikar yang didudukinya dengan jarak satu jengkal, dua jengkal, satu hasta, dua depa. “Apa yang terjadi, Syekh?” Kebo Kenongo garuk-garuk kepala, keningnya berkerut-kerut. “Ini hanyalah bagian terkecil akibat dari pendekatan dengan Allah…” dalam keadaan melayang, matanya menatap tajam ke arah Kebo Kenongo. “Hasil pendekatan? Jadi bukan manunggaling kawula gusti?” dengan menahan kedip Kebo Kenongo bertanya. “Saya belum menerangkan tentang manunggaling kawula gusti. Namun kita tadi berbicara tentang upaya pendekatan…” terang Syekh Siti Jenar, perlahan menurukan kaki satu persatu hingga akhirnya kembali menyentuh tanah. “Dengan jalan shalatkah?” tanya Kebo Kenongo. “Bukankah saya tadi waktu shalat tidak menemukan apa pun, bahkan tidak bisa melakukan seperti yang Syekh perlihatkan.” “Jangan salah ini bukan shalat! Namun shalat adalah salah satu upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Shalat tadi merupakan syari’at bagi pemeluk Islam, juga ibadah bagi hamba atau abdi Allah. Maka hukumnya wajib.” urai Syekh Siti Jenar, “Namun ketika orang belum lagi menemukan hakikat dari shalat, itulah seperti yang Ki Ageng Pengging rasakan.” “Hampa.” desis Kebo Kenongo, seraya menatap Syekh Siti Jenar dengan penuh kekaguman.
“Kebanyakan orang adalah seperti itu, Ki Ageng Pengging.” Syekh Siti Jenar melangkah pelan. “Jika demikian saya baru berada pada tahapan syari’at. Bisakah saya menemukan hakikat yang dimaksud oleh Syekh Siti Jenar?” Kebo Kenongo seakan-akan kehilangan gairah. “Hakikat menuju pada pendekatan sebelum manunggaling kawula gusti, maka seperti yang pernah saya jelaskan pada Ki Ageng. Kita meski berbeda agama namun bukanlah andika harus memaksakan syari’at ajaran yang saya miliki untuk Ki Ageng kerjakan. Karena kebiasaan andika adalah bersemadi. Bukankah dengan cara itu andika merasakan hal yang berbeda, terutama dalam upaya pendekatan.” Syekh Siti Jenar kembali mengurainya.
“Benar, Syekh.” sejenak Kebo Kenongo merenung.
"Syekh, maafkan kami menghadap.” ujar Kebo Benowo dan dua temannya. “Katakanlah!” Syekh Siti Jenar menatap Kebo Benowo dan teman-temannya. “Kalau boleh, saya menginginkan ilmu yang Syekh miliki. Namun hendaknya Syekh tidak marah terhadap permintaan saya.” Kebo Benowo dengan nada pelan. “Jika seandainya saya memiliki ilmu maka tidaklah keberatan untuk memberikan. Sudah sepatutnya ilmu itu diamalkan.” jawab Syekh Siti Jenar. “Ilmu jika semakin sering diamalkan dan diajarkan maka akan semakin bertambah. Namun sebaliknya jika ilmu itu tidak pernah diamalkan (dibagikan) apalagi kikir untuk mengajarkannya, secara perlahan akan hilang dari diri kita. Hendaklah tidak ditukar dengan emas atau uang, apalagi dijual belikan, kalau tidak ingin hilang hakikatnya.” urainya kemudian. “Ya, Syekh.
Jadi kalau begitu saya bisa memohon kepada Syekh untuk diajari ilmu.” Kebo Benowo semeringah kegirangan. “Ternyata Syekh sangatlah baik, berbeda dengan orang-orang yang memiliki ilmu tinggi lainnya. Mereka selalu meminta imbalan, kalau tidak berupa tumbal.” “Apa yang andika inginkan dari ketidaktahuan saya?” tanya Syekh Siti Jenar. “Syekh selalu merendah. Saya menginginkan ilmu untuk bertarung, dan ilmu untuk mengubah daun menjadi emas.” ujar Kebo Benowo. “Bukankah andika sudah jago bertarung? Mengapa mesti saya yang mengajari?” Syekh Siti Jenar membetulkan duduknya. “Untuk apa bisa mengubah daun menjadi emas?” “Dalam urusan bertarung secara fisik saya bisa.
Namun saya masih kalah dengan ilmu Syekh waktu bertarung saat itu.” Kebo Benowo menelan ludah. “Juga jika saya bisa mengubah daun menjadi emasmaka saya akan menjadi orang kaya raya seantero negeri Demak Bintoro.” “Baiklah, pelajarilah itu.” ujar Syekh Siti Jenar. “Bagaimana cara mempelajarinya?” tanya Kebo Benowo mengerutkan keningnya. “Dekatkanlah diri andika pada Sang Pencipta, niscaya apa pun yang andika inginkan akan terkabul. Karena Sang Penciptalah yang memiliki segalanya.” terang Syekh Siti Jenar. “Caranya itu yang susah, Syekh. Harus bagaimana?”
“Banyak cara untuk menuju Allah. Laksanakanlah itu, baru andika akan bisa. Mintalah apa yang andika inginkan.” terang Syekh Siti Jenar. “Saya tidak mengerti dan paham, Syekh.” Kebo Benowo garuk-garuk kepala. “Saya ingin langsung bisa tanpa harus melalui tahapan rumit yang Syekh sebutkan. Mustahil Syekh tidak bisa memberikannya.” “Tidak mustahil bagi Allah. Jika memang Dia menghendaki. Jadi, maka jadilah.” ujar Syekh Siti Jenar. “Saya sudah bisa?” Kebo Benowo bangkit dari duduknya, lalu memetik selembar daun basah dan diusapnya dengan kedua telapak tangan. “Wahhh…benar-benar hebat ilmu yang Syekh berikan.
Saya sudah bisa mengubah daun menjadi emas. Terimakasih Syekh!” berjingkrak-jingkrak kegirangan. “Saya juga, Syekh?” Loro Gempol bangkit dan mencabut golok dari sarungnya, “Lego Benongo, babatlah tubuh saya dengan golok ini. Cepat!” menyodorkan golok pada temannya. “Baik, bersiaplah!” tanpa ragu-ragu lagi Lego Benongo membabatkan golok pada Loro Gempol yang berdiri tegak. “Hiaaaaaaattttt….!!!” “Hebat, benar-benar hebat.” Loro Gempol ternyenyum bahagia, ketika tubuhnya dibabat oleh Lego Benongo tidak merasakan apa pun bahkan seperti membabat angin. “Sudah, Benongo. Cukup!” lalu duduk bersila dihadapan Syekh Siti Jenar. “Itu yang kalian inginkan. Sudah saya berikan.” Syekh Siti Jenar menggenggam tasbih dengan tangan kirinya. “Terimakasih, Syekh. Syekh telah mengajarkan dan mengamalkan ilmu kepada kami semua dengan satu kalimat, hingga keinginan kami tercapai.” Kebo Benowo tampak senang, begitu juga temannya. “Kami tidak akan pernah melupakan jasa baik Syekh, yang telah kami anggap sebagai guru. Untuk itu izinkanlah kami pulang kampung.” “Kembalilah, karena hanya itu yang kalian ingin raih.” Syekh Siti Jenar masih dalam keadaan bersila, terdengar mulutnya komat-kamit membacakan dzikir, sambil memutar tasbih.
Perlahan-lahan tubuhnya samar dari pandangan Kebo Benowo dan temannya. Hingga akhirnya tidak terlihat. “E..eh, menghilang!” Kebo Benowo menggosok-gosok kedua matanya, begitu juga ke dua temannya. “Aneh, kemana beliau?” “Ya, hebat.” Loro Gempol memutar matanya menatap ke segala arah, menyisir keberadaan Syekh Siti Jenar, “Benar-benar lenyap.” “Tidak jadi soal. Karena apa yang kita inginkan telah kita peroleh. Disamping itu kita pun sudah meminta izin untuk kembali ke kampung. Menghilangnya Syekh Siti Jenar berarti merestui kita semua. Mari kita turun dari padepokan ini!” Kebo Benowo bangkit dari duduknya, diikuti temannya.
Mereka pun turun dari padepokan menuju kampungnya. *** “Kalian orang-orang miskin! Sebaiknya tunduk dan takluk pada saya.” Loro Gempol berkacak pinggang di hadapan orang-orang yang berbondong-bondong menuju tempa sabung ayam. “Keparat! Apa maumu?” Joyo Dento pemimpin kelompok sabung ayam “Masa andika tidak mendengar? Bukankah saya menyuruh andika dan kawan-kawan agar tunduk!?” Loro Gempol dengan sorot mata meremehkan. “Tunduk? Jangan harap, keparat!” Joyo Dento mencabut keris dari sarungnya. “Memangnya andika seorang senapati? Enak saja.” “Hahaha…ternyata andika punya keberanian Joyo Dento?” Loro Gempol tidak bergeming melihat ketajaman ujung keris yang terhunus.
“Kawan-kawan, habisi dia!” perintah Joyo Dento pada temannya. “Majulah kalian semua! Buktikan kehebatan kalian jika memang sanggup membunuhku…hahaha!” Loro Gempol tertawa renyah. “Matilah andika keparat!” Joyo dento menyodokan keris ke arah uluhati. Diikuti empat orang temannya, menyodok perut, membabat leher, punggung, kepala, dan kaki. “Hahahaha….hanya ini kemampuan kalian!” Loro Gempol menanatang. “Ayo teruskan…hahaha!” sedikit pun tidak beranjak dari tempatnya berdiri.
Membiarkan lawan melakukan serangan. “Gila?” Joyo Dento menghentikan gerakan, tenaganya merasa terkuras. Begitu pula teman-temannya. “Ilmu apa yang dimiliki si Loro Gempol? Rampok kampungan ini mendadak punya kesaktian yang luar biasa. Seluruh senjata yang kita gunakan untuk mecabik-cabik tubuhnya, laksana menghantam angin?” mengerutkan keningnya. “Percaya kalian sekarang dengan kesaktian saya?” Loro Gempol dengan tangan kiri berkacak pingging, tangan kanannya memutar kumis. “Darimana andika punya ilmu sihir?” tanya Joyo Dento.
“Hahaha…ini bukan ilmu sihir bodoh! Tapi ilmu miliknya orang sakti yang berasal dari Sang Pencipta Alam Semesta.” ujar Loro Gempol. “Percaya kalian sekarang pada saya? Jika percaya dan tidak punya lagi keberanian sebaiknya jadi pengikut saya! Tunduk pada saya!” “Mana mungkin saya harus tunduk pada andika? Sedangkan saya belum andika kalahkan.” tantang Joyo Dento. “Jadi kalian mau saya musnahkan ketimbang tunduk pada saya?” Loro Gempol menghunus goloknya. “Sebaiknya kita ikuti saja keinginannya.” ujar teman Joyo Dento, meringis ketakutan. “Benar, Kang. Sebaiknya kita jadi pengikutnya saja ketimbang dihabisi.” bisik yang lainnya. “Benar juga. Ketimbang kita mati mengenaskan.” jawab Joyo Dento, seraya kakinya mundur beberaba langkah. “Ayo pikirkan sekali lagi! Saya masih memberi kesempatan pada kalian. Pilih mati atau jadi pengikut saya?” ujar Loro Gempol sembari menyilangkan golok di depana dadanya. “Kami menyerah saja, Ki.” ujar Joyo Dento serempak. “Hahaha…bagus. Kenapa tidak dari tadi kalau mau menyerah, untung saja golok ini belum bersarang pada leher kalian.” Loro Gempol kembali menyarungkan goloknya. “Ikutlah kalian ke tempat saya.”
“Syekh, ternyata saya lebih bisa merasakan mendekati Sang Pencipta dengan cara bersemadi.” Kebo Kenongo melangkah pelan di samping Syekh Siti Jenar. “Karena Ki Ageng Pengging sudah terbiasa dengan cara itu.” ujar Syekh Siti Jenar pandangannya tertunduk ke ujung kaki. “Benar, seperti Syekh sampaikan. Cara pendekatan dan kebiasaan ternyata tidak mudah untuk dirubah. Namun ketika kita menggunakan jalan yang berbeda ternyata memiliki tujuan sama.” Kebo Kenongo menghela napas dalam-dalam. “Kenapa? Ya, karena itulah yang disebut manunggal.
Satu.” terang Syekh Siti Jenar, menghentikan langkahnya seraya matanya menatap puncak gunung yang berkabut. “Benar, Syekh. Orang melakukan tata cara dan ritual dalam wujud pisik yang berbeda namun tujuannya tetap satu. Sang Pencipta.” tambah Kebo Kenongo. “Satu harapan untuk mendapatkannya. Mendekatkannya, meraihnya, dan manunggal.” terang Syekh Siti Jenar. “Namun belum manunggaling kawula gusti, yang akhirnya wahdatul wujud.” “Lantas?” “Mereka mendekatkan diri kepadanya bukan untuk tujuan manunggal, tetapi untuk mengajukan berbagai macam permohonan dan keinginan. Karena mereka lebih mencintai urusan lahiriyah yang cenderung duniawi ketimbang urusan alam kembali, akhirat.” Syekh Siti Jenar melirik ke arah Kebo Kenongo.
“Bukankah ada juga orang yang tidak terlalu tertarik pada urusan lahiriyah saja? Namun mereka menginginkan kesempurnaan hidup dan masuk dalam tahap akrab dengan Sang Pencipta?” kerut Kebo Kenongo, tatapannya mendarat pada wajah Syekh Siti Jenar yang bercahaya. “Itulah yang jumlahnya sangat sedikit, Ki Ageng Pengging.” lalu Syekh Siti Jenar memberi isyarat dengan jari jemari tangannya. “Kecenderungan orang melakukan pendekatan pada Allah karena mengharapkan sesuatu, atau orang tadi dalam keadaan susah. Ketika mereka merasa senang dan bahagia, lupalah kepadanya.” “Mengapa, Syekh?”
“Karena tujuan pendekatan mereka untuk meraih dan memohon kebaikan lahiriyah saja.” terang Syekh Siti Jenar. “Ketika merasa sudah terkabul keinginannya, kemudian melupakan Allah.” “Bukankah tidak semua orang seperti itu, Syekh?” tanya Kebo Kenongo. “Tidak, hanya hitungannya lebih banyak.” Syekh Siti Jenar melipat jari jemarinya. “Sangat sedikit orang yang punya kecenderungan untuk mengikat keakraban dengan Sang Pencipta. Padahal tahap terkabulnya permohonan mereka bukan karena akrab, tapi dalam upaya mendekat dan kemahamurahannya saja. Jika seandainya mereka sudah merasa akrab dan berada dalam keakraban tidak mungkin melepas ikatannya semudah itu.” urainya. “Jika sudah akrab saya kira tidak mungkin orang untuk menjauh.
Bersambung
No comments:
Post a Comment