Friday, September 28, 2018

Syeh stijenar vs walisongo bagian 4

Sudah semestinya seorang ulama atau wali memiliki ciri dengan mengenakan pakaian kebesaran yang serba putih, bersorban, dan lainnya.” urai Sunan Giri. “Apakah setiap orang yang mengaku muslim akan batal keislamannya jika seandainya tidak berpakaian serba putih dan mengenakan sorban serta jubah?” tanya Sunan Kalijaga. “Tentu tidak. Selama dia tidak murtad atau keluar dari agama Islam.” jawab Sunan Giri. “Lalu apakah yang salah pada diri saya?” kembali Sunan Kalijaga bertanya. “Karena andika tidak mengenakan pakaian seperti halnya wali lain. Bukankah pakaian itu cermin dari seseorang yang mengenakannya? Juga pakaian serba putih itu ciri para wali?” ujar Sunan Giri. ”Saya tidak bisa disebut seorang ulama atau wali karena tidak mengenakan sorban dan pakaian serba putih? Jika hal itu alasannya maka saya tidak keberatan meski tidak disebut seorang ulama atau pun wali.

Karena tujuan saya bukanlah ingin mendapat julukan dan dielu-elukan banyak orang. Namun tujuan utama saya adalah berdakwah di tanah Jawa ini agar orang mau berbondong-bondong masuk Islam, tanpa harus dibatasi oleh cara berpakaian dan latar belakang budaya yang mereka anggap asing.” urai Sunan Kalijaga. “Untuk keberhasilan dakwah saya rela menanggalkan jubah putih, serta berbaur dengan rakyat jelata. Itu cara saya. Jika cara saya berbeda dengan Kanjeng Sunan Giri itu hanyalah masalah teknis, bukankah aqidah kita tetap sama?” Sunan Giri sejenak terdiam. Dahinya tampak dikerutkan, seakan-akan merenungi ucapan Sunan Kalijaga.

Belum juga dia berbicara, Sunan Kalijaga melanjutkan perkataannya. “Bukankah rakyat kebanyakan berbondong-bondong masuk Islam, mereka tidak segan lagi bersama-sama saya untuk melakukan shalat berjamaah? Lantas sasaran Kanjeng Sunan Giri sangatlah terbatas, dengan hitungan tidak terlalu banyak dan ekslusif. Karena Kanjeng Sunan Giri menerapkan metode dakwah serta sasaran tertentu menurut Kanjeng.” ujar Sunan Kalijaga. “Setelah saya renungkan dan saya pikirkan, baiklah kita tidak harus saling memaksaan dalam urusan metode dakwah.” Sunan Giri mencair. “Saya kira andika telah menyimpang dari Islam seiring dengan ditanggalkannya jubah putih, ternyata hanya cara yang berbeda.”

“Kenapa saya harus mengingkari ajaran Islam? Padahal dengan susah payah saya meraihnya. Tidak mungkin saya melepaskan ajaran Islam dari diri saya seperti halnya saya menanggalkan jubah putih. Itu berbeda, Kanjeng Sunan Giri.” tukas Sunan Kalijaga. “Saya lebih memilih melakukan pendekatan budaya, ketimbang menggunakan tata cara yang bersipat asing bagi mereka.” Masjid Demak Bintoro sejenak dalam keadaan hening. Tidak terdengar lagi suara yang bercakap-cakap, selain bergeraknya tasbih di tangan para wali.

“Inilah padepokanku, Kisanak!” ucap Syekh Siti Jenar. “Indah dan asri pemandangannya, Syekh.” Kebo Benowo tercengang melihat keindahan Padepokan Syekh Siti Jenar. Udaranya sejuk, keadaannya tenang, pohon hijau berselang dengan tanaman hias memagari jalan setapak yang sedikit menanjak menuju gerbang padepokan. “Tentu saja harus indah dan asri, karena Allah itu Maha Indah. Kita selaku umatnya sudah seharusnya menciptakan suatu keindahan, agar kita mudah menyatukan diri dengannya. Kita berdialog dengan Allah, yang memiliki segala hal dan menciptakan segala makhluk.” terang Syekh Siti Jenar. “Masuklah kisanak!” “Terimakasih, Syekh.” Kebo Benowo, masuk lebih dulu diikuti kedua teamnnya. “Sebab jika kita merasa tertarik pada sesuatu, tentu saja kita akan selalu ingin memandangnya dan merasa kerasan untuk menikmatinya.” Syekh Siti Jenar duduk bersila di atas tikar pandan.

Dihadapannya Kebo Benowo dan kedua temannya. “Sungguh benar yang Syekh katakan.” ucap Kebo Benowo datar. “Namun ruangan ini cukup luas, banyakkah orang yang berkumpul disini dan berguru pada, Syekh?” matanya mengitari seluruh ruangan. “Untuk apa saya membuat ruangan sebesar ini jika tidak ada orang yang mau menempatinya.” Syekh Siti Jenar melirik ke arah gerbang padepokan. “Lihatlah disana!” “Banyak sekali orang yang sedang menju ke padepokan ini?” Kebo Benowo dan dua temannya tercengang, melihat rombongan orang yang berduyun-duyun memasuki gerbang padepokan. “Jika demikian, bukanlah kami ini murid Syekh yang pertama.” “Itulah sebuah kenyataan.” ujar Syekh Siti Jenar tenang. “Jika demikian saya tidak akan bisa berkonsentrasi menyerap ilmu yang akan diajarkan Syekh?” wajah Kebo Benowo menggambarkan kekhawatiran. “Mengapa tidak, Kisanak? Sebab saya tidak memiliki ilmu apa pun, dan tidak pula menganggap istimewa satu sama lainnya.

Karena mereka memiliki asal yang sama dan kembali pada tempat yang sama.” terang Syekh Siti Jenar. “O,…” Kebo Benowo dan temannya mengangguk-anggukan kepala. Namun tetap dalam hatinya merasa keberatan jika harus berjubel dan belajar dengan banyak orang. Karena tujuan mereka berguru ingin memiliki ilmu lebih dibandingkan dengan orang lain, tujuannya pun untuk menguasai orang lain.

Pengikut dan murid Syekh Siti Jenar yang jumlahnya cukup banyak mulai memasuki ruang padepokan. Satu persatu mulai mengambil tempat duduknya masing-masing. Duduk bersila, berjejer memadati ruangan, pandangannya luru ke depan, memandang Syekh Siti Jenar dengan takjub. “Baiklah, jika semuanya sudah berkumpul kita mulai pelajaran ini.” Syekh Siti Jenar mulai mengajarkan ilmunya. “Saya akan memulai dengan pertanyaan.

Darimanakah asalnya manusia?” matanya mulai memandang muridnya satu persatu. “Tentu saja manusia berasal dari kedua orang tuanya.” jawab Loro Gempol. “Terutama sekali ibunya yang melahirkan. Saya rasa semua orang juga tahu, Syekh.” urainya sangat percaya diri. “Jika jawabannya seperti itu, semua orang tahu. Maka saya tidak perlu memberitahukannya lagi.” terang Syekh Siti Jenar. “Lalu bagaimana menurut, Syekh?” Kebo Benowo menindaklanjuti pertanyaan temannya. “Secara lahiryah, manusia dilahirkan oleh seorang ibu. Ibu pun tidak akan bisa melahirkan tanpa pasangannya yang bernama suami.” sejenak menghentikan ucapannya.

Matanya mulai menyisir wajah para muridnya yang dengan khusu memperhatikannya. “Ya, kami tahu.” Loro Gempol yang tidak sabaran selalu menyela. “Syekh, kedatangan kami kesini bukan untuk mempelajari ilmu seperti itu. Tapi kami meminta kesaktian yang Syekh punyai.” Loro Gempol seraya bangkit dari duduknya, tabiat rampoknya mulai tumbuh kembali. Andika terlalu tergesa-gesa, Kisanak.” Syekh Siti Jenar mengayunkan telunjuk dari tempat duduknya. ”Akkkhhhhh! Tolong!” tiba-tiba Loro Gempol terbanting, dan roboh di atas lantai. “Bukankah saya belum selesai berbicara?” Syekh Siti Jenar tidak mengubah posisi duduknya, “Mana bisa orang mendapatkan ilmu ma’rifatullah jika tidak bisa mengendalikan emosi.” “Aduhhhh…” Loro Gempol memijat-mijat bokongnya yang terasa sakit akibat benturan. “Maafkan saya, Syekh.” “Kembalilah andika ke tempat duduk!” perintah Syekh Siti Jenar. Sementara yang lainnya tidak ada yang berani menentang, apalagi berujar yang tidak karuan di depan orang yang memiliki tingkat kesaktian tinggi.

Mereka termasuk para murid yang taat, karena sudah mulai mendalami sebagian ilmu yang diajarkannya. “Kenapa andika ceroboh, Gempol?” Kebo Benowo berbisik pada Loro Gempol yang telah duduk kembali disampingnya. “Bukankah andika sudah tahu, bagaimana kehebatan Syekh Siti Jenar ketika kita rampok. Masih untung andika tidak diusir dari padepokan ini.” “Memang saya ceroboh, Ki Benowo. Tapi saya tidak akan mengulang kesalahan ini,” bisik Loro Gempol. “Jika andika mengulang kesalahan, kemungkinan besar kita akan ditolak menjadi murid beliau.” Kebo Benowo merasa khawatir kalau tidak memperoleh kesaktian yang dimiliki Syekh Siti Jenar. ”Lupakanlah peristiwa tadi.” Syekh Siti Jenar menghela napasnya. ”Kita kembali pada pertanyaan semula.

Darimana asalnya manusia?” “Darimanakah itu Syekh? Saya kira Syekhlah yang lebih tahu.” ujar Kebo Benowo. “Manusia berasal dari Allah. Dari dzat Allah yang menciptakannya. Seluruh manusia yang belum lahir kedunia ini berada pada suatu tempat yang bernama ‘bahrul hayat’.” berhenti sejenak. “Apakah itu, Syekh?” tanya Kebo Benowo. “Yaitu tempat hidup dan kehidupan. Disitu manusia merasakan kenikmatan yang tidak ada taranya. Manusia tidak pernah merasakan lapar, sakit, sedih, duka, lara, bahkan bahagia.

Itu karena sangking nikmatnya kehidupan sebelum lahir ke dunia. Kita merasakan penderitaan, kesedihan, kemiskinan dan sebangsanya karena telah terlahir ke dunia ini. Bukankah sebelumnya kita tidak pernah merasakan penderitaan dan kemiskinan…” urai Syekh Siti Jenar. Para murid Syekh Siti Jenar sejenak merenungkan uraian gurunya. Mereka ada yang bisa mencerna dan memikirnnya, namun ada juga yang belum memahami maksud uraian tadi. “Jadi dunia ini tempatnya kita menjalani kesedihan, kemiskinan, kemelaratan, penderitaan, tertawa, bergembira. Setelah semuanya secara berurutan atau tidak kita alami, maka kembali berputar. Setelah sedih kita akan bahagia, setelah bergembira kita akan menangis….dan seterusnya.” Syekh Siti Jenar memandang ke setiap sudut.

“Jika demikian kehidupan dunia ini berbeda dengan alam asal muasal kita, yang didalamnya tidak pernah terasa kesedihan, tidak pernah pula setelah bergembira kemudian bersedih. Bukankah disana nyaris kita tidak pernah merasakan apa pun, Syekh?” ujar Kebo Benowo, seraya menatap wajah Syekh Siti Jenar yang memancarkan cahaya. “Benar. Alam asal muasal manusia adalah alam milik dzatnya. Sehingga kita pun berada didalam kenikmatannya. Berbeda dengan alam yang sedang kita jalani sekarang.” lanjut Syekh Siti Jenar, tangan kanannya tetap memegang tasbih, sementara tatapan matanya terus berputar. Waktu terus merangkak pelan, menggiring para murid Syekh Siti Jenar pada ajarannya. Mereka semakin khusuk mendengarkan, hati mulai terbuka akan segala hal yang sebelumnya tidak diketahui.

“Syekh, andika membawa ajaran Islam. Padahal agama yang saya kenal sebelumnya adalah Hindu dan Budha.” ujar Kebo Kenongo. “Namun stelah saya perhatikan ternyata inti dari ke tiga agama tersebut memiliki kesaamaan.” “Benar, Ki Ageng Pengging.” ucap Syekh Siti Jenar, matanya menatap tajam wajah lelaki yang masih keturunan Majapahit. “Semua agama sebenarnya dari asal yang satu. Itulah tadi yang saya uraikan.” “Saya paham dan tertarik untuk mengambil kesamaan dari ke tiga ajaran tadi.” tambah Kebo Kenongo. “Hanya yang membedakan agama-agama tadi adalah lelaku lahiryahnya saja.” “Benar, Ki Ageng Pengging.

Sebab hakikatnya sama, mencari yang namanya Sang Pencipta, Sang Pemilik, Sang Maha Perkasa.” ujar Syekh Siti Jenar, seraya jari jemari tangannya memberi gambaran simbol pada Kebo Kenongo. “Kita hanya bisa merasakan nikmat saat bergumul dengan Dzat Yang Maha Kuasa. Mungkin syariat dari ajaran Hindu dan Budha bersemadi, mungkin orang Islam dengan tata cara berdzikir, berdoa, dan Shalat. Tapi semua itu hanyalah bentuk pendekatan secara jasadiah saja, sedangkan batinnnya tertuju pada Yang Maha Segalanya.” urai Syekh Siti Jenar. “Benar, Syekh.” Kebo Kenongo sejenak memandang ke arah puncak gunung, “Kenikmatan kita saat bersemadi ketika wujud kita telah menyatu dengannya.” “Itulah Manunggaling Kawula Gusti.” terang Syekh Siti Jenar pelan.

Lalu bangkit dari duduknya, melangkah pelan menyusuri jalan setapak di ikuti Kebo Kenongo menuju padepokan. “Mereka sedang memperbincangkan apa di atas sana?” Loro Gempol melirik ke arah Kebo Benowo yang sedang berdiri di halaman padepokan. “Kelihatannya sangat serius.” “Apalagi yang mereka perbincangkan kalau bukan masyalah ilmu.” jawab Kebo Benowo datar. “Mengapa mereka kelihatannya khusuk dan serius. Mungkinkah karena Syekh Siti Jenar berbincang-bincang dengan keturunan Majapahit? Sehingga dia memperlakukan Ki Ageng Pengging lebih istimewa dibandingkan dengan kita, mantan rampok.” tatapan mata Loro Gempol tertuju kembali pada Syekh Siti Jenar dan Kebo Kenongo, mereka sedang menuruni bukit menuju padepokan. “Andika jangan berprasangka buruk, Gempol!” Kebo Benowo memberi apalagi mengistimewakan satu dengan lainnya. Hanya Syekh Siti Jenar akan mudah diajak berbincang-bincang jika kita memahami yang dibicarakannya. Kita belum bisa dianggap selevel dengan Ki Ageng Pengging.

Karena kita latar belakangnya rampok dan tidak pernah mengenal ajaran agama apalagi filsafat, sedangkan Ki Ageng Pengging sudah mengenal agama-agama sebelum datang ajaran Syekh Siti Jenar, ditambah lagi dia orang cerdas.” urai Kebo Benowo. “Mungkin ya…mungkin tidak?” Loro Gempol menghentikan pembicaraannya, karena mereka sudah mendekat. “Andika berdua memperbincangkan saya?” Syekh Siti Jenar menatap Kebo Benowo dan Loro Gempol. Keduanya hanya mengangguk dan selanjutnya menundukan kepala. Karena mereka baru menyadari kalau Syekh Siti Jenar memiliki ilmu batin yang sangat hebat. “Tidak mengapa, jika memang pertemuan saya dengan Ki Ageng Pengging menjadi bahan perbincangan andika berdua.” ujar Syekh Siti Jenar enteng. “Andika pun hendaknya bisa mencapai tahapan yang sedang kami perbincangkan.” melanjutkan langkahnya, di belakangnya Kebo Kenongo mengiringi. “Inti dari ajaran Manunggaling Kawula Gusti?” Kebo Kenongo memulai lagi perbincangan, setelah beberapa langkah jauh dari Loro Gempol dan Kebo Benowo. “Ya, ketika kita menyatu dengan Dzat Sang Pencipta, Allah.” terang Syekh Siti Jenar. “Disitu terjadi penyatuan antara Gusti dan abdinya. Setelah kita menyatu dengannya, apa masih perlu yang namanya dzikir, shalat, ritual?”

“Bukankah tujuan dari dzikir, shalat, dan ritual itu untuk mendekatkan diri kita dengan Yang Maha Agung?” timpal Kebo Kenongo. “Benar sekali Ki Ageng Pengging.” langkahnya terhenti di tepi jalan, sejenak, lalu memandang awan yang berserak di langit biru. “Jika kita sudah dekat apalagi menyatu dengannya masihkah kita perlu melakukan upaya dan tata cara pendekatan?” “Tentu saja jawabnya tidak.” Kebo Kenongo menatap keagungan sinar yang terpancar dari wajah Syekh Siti Jenar. “Upaya pendekatan apalagi yang harus kita lakukan, jika kita sudah melebihi dari dekat.

Apa pun yang kita inginkan bisa terwujud hanya dengan kalimatnya. Kun, jadi. Maka terjadilah!” tambah Syekh Siti Jenar. “Namun ketika kita sudah berada pada tahapan tadi, mana mungkin akan tertarik pula dengan urusan dunia dan seisinya. Karena lebih nikmat didalam kemanunggalan tadi dibandingkan dengan dunia dan segala isinya.” “Mungkin juga, Syekh.” Kebo Kenongo mengerutkan dahinya, mencoba mencerna uraian Syekh Siti Jenar. “Untuk meyakinkan segala hal yang saya katakan sebaiknya Ki Ageng Pengging mencobanya.” saran Syekh Siti Jenar. “Saya sering melakukan semedi dan tapabrata, Syekh. Namun yang dikatakan kemanunggalan kita dengan Sang Pencipta itu di sisi mana?” tanya Kebo Kenongo. “Ketika wah’datul wujud.” Syekh Siti Jenar menghela napas dalam- dalam. “Saya baru bisa menjelaskan lebih mendalam jika Ki Ageng Pengging mencoba, lalu ada perbedaan dari sebelumnya.

Maka hal itu baru saya uraikan kembali menuju Manunggaling Kawula Gusti. Sebab tidak mungkin saya mengurai sebuah persoalan jika seandainya Ki Ageng tidak menjelaskan terlebih dahulu hal yang mesti dibahas.” Saya paham maksud, Syekh.” Kebo Kenongo menganggukan kepala.

“Saya mendapat kabar tentang pesatnya ajaran yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar.” ujar Sunan Bonang, duduk bersila di hadapan Sunan Kalijaga. “Saya juga demikian, Kanjeng.” Sunan Kalijaga mengamini. “Kenapa dia bisa berhasil dengan pesat dalam penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Padahal dia bukanlah seorang wali?” Sunan Giri menyela. ”Benar, Kanjeng. Penyebaran ajaran dengan pesat di sini bukan berarti mayoritas, sebab Kanjeng Sunan Kalijaga pun cukup berhasil dalam upaya ini.” terang Sunan Bonang. “Tidak lupa pula para wali yang lain.” ”Bukankah kita pun sebagai para wali telah menyisir seluruh pulau Jawa dalam upaya penyebaran ajaran Islam?” ujar Sunan Giri. Sunan Bonang menatap Sunan Kalijaga, berbicara melalui batinnya. ’Bukankah maksud kita bukan urusan pesatnya penyebaran yang akan dibicarakan. Tetapi tentang isi ajaran yang disampaikannya.’

‘Itulah yang membuat saya khawatir, Kanjeng Sunan Bonang. Namun mudah-mudahan yang kita khawatirkan itu tidak..’ “Kenapa andika berdua terdiam?” Sunan Giri menatap Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. “Ada apa?” ”Tidak, Kanjeng Sunan Giri. Kita hanya memaklumi saja kemampuan seorang rakyat jelata seperti Syekh Siti Jenar mampu mengembangkan dan menyebar luaskan ajarannya. Itu yang sedang kami renungkan.” terang Sunan Bonang. “Tetap saja pesatnya ajaran yang dia bawa penyebarannya tidak akan seluas para wali, termasuk pengaruh dan wibawanya. Mungkin hanya sekelompok kecil saja yang kemungkinan terserak di pelosok Negeri Demak Bintoro.” ujar Sunan Giri. “Namun itu bukan sebuah persoalan selama dia tidak menyimpang dari aturan para wali.” ‘Apa boleh buat, justru itulah nantinya akan menuai persoalan.’ batin Sunan Bonang.

‘Namun biarlah waktu yang menjawab, Kanjeng. Sebab kita tidak mungkin bisa merubah alur kehidupan yang akan terjadi. Bukankah kita hanya sebatas mengetahui dengan keterbatasan ilmu kita, Kanjeng.’ urai Sunan Kalijaga dengan bahasa batinnya.

Prajurit Demak yang pernah berhadapan dengan Syekh Siti Jenar, si Kerempeng dan si Tambun sedang berbincang-bincang di bawah pohon beringin menunggu giliran berjaga di gerbang alun-alun Demak Bintoro. “Syekh Siti Jenar ternyata temannya para wali.” ujar si Tambun. “Namun apakah dia juga termasuk salah seorang wali di antara wali songo?” matanya menatap si Kerempeng. “Tanyakan saja pada Kanjeng Sunan Kalijaga. Jangan pada saya!” jawab si Kerempeng tinggi. “Tapi jika melihat kesaktian dan kehebatan ilmunya saya yakin bahwa dia masih termasuk wali.” si Tambun mengerutkan dahinya, coba menebak-nebak. “Buktinya dengan Sunan Kalijaga sangat akrab, terkadang bicara melalui tatapan matanya.

Bersambung

No comments:

Post a Comment