Matahari mulai menyelinap di balik bukit Desa Kendharsawa, awan tipis berlapis-lapis laksana serpihan sutra merah. Angin senja bertiup sepoi-sepoi mengusik setiap daun dan ranting kering, selanjutnya jatuh di atas tanah, tanpa daya. Sorot mata Ki Chantulo tidak beranjak dari jatuhnya daun dan ranting kering di hadapannya. Lalu duduk dan memungutnya. “Ranting dan daun kering, rupanya usiamu telah berakhir senja ini.” perlahan bangkit, seraya mengangkat kepalanya, tatapan mata menyapu awan jingga berlapis dan berarak laksana kereta kencana. “Betapa indah, taqdir kepergianmu diiringi warna keemasan….” “Ya, sangat indah kematian daun dan ranting kering ini…” bisik Ki Donoboyo yang berdiri disampingnya. Tatapan matanya tidak beranjak dari tingkah laku teman seperguruannya. “Mungkin itulah yang dikatakan menyatunya kembali dengan dzat yang maha kuasa?” “Mungkin?” tatap Ki Chantulo. Lalu melangkah pelan menuju padepokan Syekh Siti Jenar, Ki Donoboyo mengiringi.
Di halaman padepokan Syekh Siti Jenar sedang bercakap-cakap dengan Kebo Kenongo. Kebo Kenongo seakan-akan larut pada setiap perkataan dan nasehat gurunya, terkadang berkali-kali mengangguk-anggukan kepalanya. “Syekh, manunggaling sifat Allah ternyata bisa dibuktikan. Hingga saya mengerti dan memahami…” ujar Kebo Kenongo, “…bahkan ma’rifat pun kini mulai bisa saya capai. Ternyata dalam pencapaian ini tidak harus melalui tahapan yang dulu pernah Syekh ungkapkan.” “Bukankah saya pernah mengatakan, menuju ma’rifat tidak perlu melalui tahapan syariat, hakikat, thariqat, lantas ma’rifat. Jika demikian berarti hanya orang yang beragama Islam saja yang bisa. Mungkin dalam agama hindu atau budha yang sebelumnya Ki Ageng Pengging ketahui tidak akan menemukan tahapan itu. Bisa saja namanya berbeda, tetapi tujuannya sama.” Syekh Siti Jenar menyapu wajah Kebo Kenongo dengan tatapan matanya. “Saya kira semua agama memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mencapai dan menggapai dzat Yang Maha Kuasa. Yang membedakan semuanya hanyalah tata caranya, jalan, dan nama-nama proses pencapainya.”
“Ya,” Kebo Kenongo tersenyum, “Pencapaian itulah yang memerlukan proses yang cukup lama dan panjang. Hingga terkadang orang merasa putus asa…” “Putus asa, penyebab petaka. Itu tidak perlu terjadi,” terang Syekh Siti Jenar, “Untuk menghindari keputusasaan dalam hal pencapaian diperlukannya guru yang selalu membimbing dan mengarahkan.” “Benar, supaya tidak kesasar dan gila?” “Ya, mungkin kata lain sesat.
Orang akan menyatakan sesat atau kesasar pada orang lain, karena menurut ilmu dan pengetahuan yang dia milki bahwa jalan menuju Desa Kendharsawa hanya satu. Jalan yang biasa Ki Ageng Pengging lalui beserta orang kebanyakan. Padahal setahu saya ada banyak jalan menuju Desa Kendharsawa, bisa memutar dulu ke Utara, bisa berbelok dulu ke Selatan, bisa juga mengambil jalan pintas.” urai Syekh Siti Jenar, “Salahkah jika orang yang berpendapat harus berlok ke Utara atau ke Selatan, bahkan mengambil jalan pintas? Jelasnya tidak pernah mengambil jalan yang biasa dan diketahui umum. Salahkah?” “Saya kira tidak,” “Mengapa?” “Karena sudah tentu semuanya akan sampai ke Desa Kendharsawa. Hanya waktu sampainya yang berbeda, ada yang cepat, lambat, dan alon-alon.” “Itulah maksud saya, Ki Ageng Pengging.” ujar Syekh Siti Jenar. “Nah, yang diributkan orang kebanyakan soal perbedaan jalan itulah.
Sehingga memicu pertengkaran, demi mempertahankan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya agar diikuti orang lain. Padahal setiap orang memiliki pemahaman dan pendalaman, juga maksud yang berbeda, meski sebenarnya punya tujuan sama.” “Maksudnya?” “Bukan tidak tahu jalan umum menuju Desa Kendharsawa, tetapi berbelok ke Selatan karena punya maksud menemui dulu kerabat. Jalan yang di tempuh lewat Utara, karena ingin membeli dulu hadiah untuk teman di Kendharsawa. Sampaikah mereka semua pada tujuan? Desa Kendharsawa?” “Sampai?” “Mengapa harus bertengkar dan saling menyalahkan?” “Karena jalannya tidak diketahui umum,” “Haruskah umum selalu tahu? Haruskah umum memberikan kesimpulan bahwa jalan Utara dan Selatan sesat?” “Tidak,” “Mengapa?” “Karena pasti sampai.” “Kenapa pula dipertengkarkan?” “Bertengkar karena tidak saling memahami akan persoalan yang sesungguhnya.”
“Nah, itulah Ki Ageng Pengging.” Syekh Siti Jenar melangkah pelan, “Makanya Islam mengajarkan jika di antara kita terjadi perbedaan paham sebaiknya dikembalikan pada alquran dan assunnah. Semua perbedaan pendapat dan pemahaman bisa diselesaikan dengan cara musyawarah. Tidak semestinya melakukan tindakan yang tidak diridhoi Allah, apalagi menciptakan laknat. Bukankah Islam mengajarkan bahwa kita harus selalu menebar rakhmat, hamamayu hayuning bawanna? Seandainya orang tadi belum mengenal Desa Kendharsawa, maka bisa dikatakan tersesat.
Salah jalan. Jika salah jalan karena ketidaktahuan itulah yang sesat.” urainya. “Ya, karena tidak akan mungkin sampai pada tujuan.” Kebo Kenongo mengangguk-anggukan kepala, “Jadi makna “sesat” disini bisa diartikan berbeda?” “Tentu,” Syekh Siti Jenar mengiyakan, “Bisa saja kita yang salah karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Bisa juga orang yang kita anggap sesat benar-benar sesat. Atau bahkan sebaliknya.” “Syekh,” Ki Chantulo mendekat, dibelakangnya berdiri Ki Donoboyo. “Kita telah jauh memperdalam ilmu hamamayu hayuning bawanna, ma’rifat mungkin hampir saya capai. Namun saya khawatir ada akibat….lihatlah daun dan ranting kering ini, sangat mudah terlepas dari batang pohon meski hanya tertiup angin sepoi-sepoi.” “Jika kita sebagai manusia tentu saja harus punya rasa khawatir.” Syekh Siti Jenar membalikan tubuhnya, tatapan matanya menyapu wajah Ki Chantulo. “Kekhawatiran muncul karena keterbatasan ilmu dan ketidaktahuan perjalanan hidup. Ketidaktahuan akan ketidakjelasan kabar.” “Maksudnya?” “Saat orang bilang, awas jangan lewat jalan Kendharsawa karena ada rampok kejam, apa yang akan andika lakukan?” “Saya akan menertawakan orang tadi, karena setahu saya jalan menuju Desa Kendharsawa aman.” “Karena andika tahu betul.” ujar Syekh Siti Jenar, “Tapi sebaliknya bagi orang yang belum mengenal Kendharsawa tentu akan merasa khawatir. Mengenai kabar yang tidak jelas tadi, bahkan akan menimbulkan rasa was-was.” “Ya,” Ki Chantulo mengangguk, “Mungkin karena keterbatasan ilmu saya yang menyebabkan khawatir dan takut.” “Sebenarnya apa yang menjadi kekhawatiran andika, Ki Chantulo?” tanya Kebo Kenongo. “Saya mendengar kabar ditangkapinya orang-orang yang menganut ajaran Syekh Siti Jenar. Jika tidak salah dewan wali menganggap ajaran kita sesat.” Ki Chantulo menundukan kepala. “Syekh?” Kebo Kenongo menatap Syekh Siti Jenar, belum juga kering mulutnya ketika berbincang tentang sesat.
“Tidak perlu khawatir, Ki Angeng Pengging.” lalu Syekh Siti Jenar memutar tatapan matanya, “Lihatlah, daun kering dan ranting yang Ki Chantulo genggam. Jasad manusia tak ubahnya ranting dan daun kering, jika sampai pada waktunya akan jatuh di atas tanah. Penyebabnya bisa karena tertiup angin sepoi-sepoi, mungkin saja ditebas pemilik kebun, bisa juga dimakan ulat atau binatang ternak lainnya. Itulah sebuah taqdir. Kekhawatiran akan muncul, karena tadi itu.” sejenak menghentikan perbincangannya. Senja hening di padepokan Syekh Siti Jenar, para muridnya seakan-akan tenggelam dan hanyut dalam keadaan. Angin semilir mengusik dedaunan dan jubah yang dikenakan Syekh Siti Jenar, berkelebat. “Saya ingat sabda alam yang pernah Syekh sampaikan.” Ki Donoboyo mengerutkan dahinya, “Mungkinkah pesan yang disampaikannya berlaku pada kita…..” “Jika ya? Meskikah kita mengambil tindakan?” tatap Ki Chantulo. “Tentu saja, Ki Chantulo.” Ki Donoboyo mendekat, “Bukankah kita harus berusaha membela diri.
Mungkin caranya berbeda dengan orang kebanyakan. Bukankah kita tidak mungkin menyerahkan diri pada hukuman sebelum melakukan pembelaan?” “Begitukah, Syekh?” Ki Chantulo menyapu wajah Syekh Siti Jenar dengan tatapan matanya. “Saya tidak mengharuskan melawan taqdir.” ujar Syekh Siti Jenar, “Berlakulah andika sebagai manusia dengan keterbatasan ilmu dan ketidaktahuan.” “Maksudnya?” Ki Chantulo, Ki Donoboyo, dan Kebo Kenongo mengerutkan dahinya. “Sejauhmana andika paham pada kejadian yang akan datang? Sebatas mana rasa khawatir yang muncul dalam jiwa? Berlakulah dalam keterbatasan dan yang membatasi semuanya.” sejenak berhenti, “Bukankah tidak semua manusia memahami perjalanan hidupnya? Apa yang akan terjadi hari ini? Lantas hal apa besok hari yang akan menimpa kita? Akan bersedihkah? Bahagiakah? Manusia tidak bisa mempercepat, memperlambat, bahkan mundur dari kehendakNya. Hanya orang tertentu saja yang memahami akan perjalanan hidup, mengenai hal yang sebelumnya atau akan didapati.” urai Syekh Siti Jenar. “Saya belum terlalu paham maksudnya?” Ki Donoboyo memijit-mijit keningnya.
“Saya menyadari akan keteledoran dan ketidaktahuan, Kanjeng.” Raden Patah menyeka air mata, “Sehingga timbul penyesalan yang teramat dalam….” “Tidak cukup dengan sebuah kata dan kalimat penyesalan, Raden.” ujar Sunan Giri, “Seandainya itu berdosa kepada Allah, maka bisa ditebus dengan taubatan nashuha. Setelah itu memperbaiki diri dan tidak berbuat kembali. Tetapi bersalah pada rakyat, meminta maaf pun harus pada mereka…” “Bukankah rakyat negri Demak Bintoro ini sangat banyak, Kanjeng?” “Meminta maaf pada rakyat tidak cukup dengan perkataan dan ucapan, berkeliling menemui penduduk negeri.” Sunan Giri berhenti sejenak, “…rubahlah keadaan negara hingga tidak ada lagi rakyat kelaparan. Meski miskin itu ada, karena sunnatullah. Berupayalah Raden sebagai seorang pemimpin mengubah keadaan negara. Seorang pemimpin tidak saja bertanggungjawab di dunia, tetapi di akhirat juga. Di dunia bisa jumawa, di dunia bisa sewenang-wenang, di dunia bisa teledor, khilaf. Sudah menjadi kewajiban kami para wali mengingatkan umara agar tidak terjerumus di dunia dan akhirat.” “Saya sangat menyadari semuanya, Kanjeng.” Raden Patah semakin menunduk, “Haruskah saya mundur untuk menebus semua kesalahan ini?” “Mana mungkin bisa merubah keadaan jika mundur? Balikan telapak tangan, berbuatlah yang terbaik untuk rakyat.” terang Sunan Giri, “Berbuat untuk rakyat, berati berbuat untuk diri sendiri, negara, agama, dan keluarga.”
“Baiklah, Kanjeng. Saya akan berupaya sekuat tenaga seperti yang Kanjeng Sunan Giri sarankan. Meski saya harus jatuh miskin, itu hanyalah ukuran dunia dan bentuk tanggungjawab pada rakyat.” Raden Patah menatap Pangeran Bayat, “Dimas bantulah mereka yang kelaparan. Berbuatlah untuk mensejahterakan rakyat, tebuslah kesalahan kita. Kakang tidak ingin mendengar kabar ada rakyat yang masih kelaparan, bunuh diri karena miskin. Berbuatlah! Kakang pun akan berbuat dengan tangan ini yang telah berlumur dosa karena bodoh dan khilaf.”
“Raden,” Sunan Giri perlahan duduk di atas kursi. “Ada persoalan yang lebih penting ketimbang rasa lapar dan kemiskinan.” “Persoalan apa, Kanjeng?” tatap Raden Patah, “Bukankah miskin dan lapar yang bisa memicu orang berbuat nekad? Merampas hak orang lain? Merampok? Mungkin juga bunuh diri?” “Benar Raden, seakan-akan persoalan perutlah yang terpenting dalam kehidupan ini.” Sunan Giri tersenyum, “Jarang sekali orang melakukan penyelidikan lebih mendalam.” “Maksud, Kanjeng?” “Mengapa orang miskin bunuh diri, mengapa yang kelaparan nekad?” Sunan Giri berhenti sejenak, tatapan matanya menyapu wajah Raden Patah, terkadang Pangeran Bayat. “Karena hanya jalan itulah yang dianggap penyelesaian, Kanjeng.” ujar Pangeran Bayat, “Bayangkan seandainya mereka kenyang dan serba berkecukupan.
Tidak akan mungkin berbuat demikian.” “Orang miskin merampok hanya butuh makan untuk satu hari, Pangeran. Sedangkan yang kaya disebabkan sifat serakah.” tukas Sunan Drajat, “Bukankah hartanya sudah melimpah ruah, tetapi masih saja ingin menumpuk kekayaan. Menghalalkan segala cara.” “Ya, saya mengerti, Kanjeng.” Raden Patah tersenyum, “Terlepas dari urusan miskin dan kaya, yang jelas penyelesaian dari sebuah perbuatan buruk tadi. Mereka hanya menyantap makanan jasmani, sedangkan rohaninya kosong.” “Terkait dengan hal itulah kami para wali ingin berbincang.” ujar Sunan Giri, “Bukankah para sahabat nabi juga menafkahkan seluruh hartanya demi agama.
Lihatlah khalifah Umar bin Khatab, jubah dan pakaiannya penuh dengan tambalan. Meski secara lahiryah terlihat miskin namun hatinya sangat kaya, jiwanya tersisi penuh. Tidak pernah berkhianat, selalu bertaqwa pada Allah.” “Benar, Kanjeng.” “Kemiskinan dan kelaparan yang melanda negeri Demak Bintoro dimanfaatkan pengikut ajaran Syekh Siti Jenar, untuk menyimpang dari agama. Sehingga memicu persoalan baru.” Sunan Giri menghela napas, “Banyak rakyat miskin dan kelaparan bunuh diri, keadaan dibuat kalangkabut dan kacau balau. Selain aqidah mereka masih lemah, pengaruh ajaran sesat dan menyesatkan semakin kuat.
Sehingga mereka dengan ajarannya telah mencoba menodai perjuangan para wali.” “Gusti, menurut hemat hamba. Tersebarnya ajaran sesat Syekh Siti Jenar terkait pula dengan persoalan politik.” timpal Pangeran Bayat, “Bukankah Ki Ageng Pengging selain murid, juga sangat dekat dengan Syekh Siti Jenar, disamping masih keturunan Majapahit. Mungkin dia punya anggapan memiliki hak yang sama untuk meraih tahta.” “Tidakkah sebaiknya persoalan politik dipisahkan dulu…” “Maaf Kanjeng Sunan Kalijaga, rasanya ini telah sulit untuk dipilah.
Ditebarnya kekacauan dengan isu agama, sangat sarat dengan muatan politik.” “Dimas Bayat, untuk menjernihkan persoalan ini saya sependapat dengan Kanjeng Sunan Kalijaga.” tatap Raden Patah, “Tetapi seandainya belum atau tidak pernah terjadi pemberontakan di Kademangan Bintoro?” “Bukankah dugaan saya telah terjadi, Gusti?” “Dalam hal ini tetap harus ada keputusan, Raden, terkait dengan ajaran sesat Syekh Siti Jenar.” ujar Sunan Giri, “Pemerintah harus segera mengambil tindakan. Sebelum pengaruh ajaran sesat ini semakin meluas….” “Keputusan?” Raden Patah menundukan kepala, pikirannya berputar, sejenak mulutnya terkatup. “Haruskah saya seret Syekh Siti Jenar dan pengikutnya ke hadapan, Gusti?” ujar Pangeran Bayat. “Mudah saja menyeret orang, Pangeran.” timpal Sunan Kalijaga, “Apakah tidak alangkah lebih baiknya mengutus orang dulu ke padepokan Syekh Siti Jenar di Desa Kendharsawa?”
“Untuk apa, Kanjeng?” tanya Sunan Giri. “Membenarkan apa yang kita tuduhkan pada mereka.” jawab Sunan Kalijaga. “Bukankah sudah terbukti? Jika Syekh Siti Jenar mengajarkan dan menyebarluaskan ajaran sesat dan menyesatkan?” “Maaf, Kanjeng Sunan Giri. Saya setuju dengan pendapat Kanjeng Sunan Kalijaga.” Raden Patah perlahan bangkit, “Dimas Bayat dan Pangeran Modang, saya utus untuk menemui Syekh Siti Jenar.
Itu dari pihak pemerintah, Kanjeng. Alangkah lebih baiknya Kanjeng Sunan Giri pun mengutus beberapa orang wali. Saya yakin dengan hadirnya para wali dalam rombongan akan sanggup menilai sesat atau tidaknya ajaran Syekh Siti Jenar.” “Baiklah, Raden. Jika itu harus dilakukan.” tatapan mata Sunan Giri menyapu para wali yang duduk dibelakangnya, “Saya akan mengutus Kanjeng Sunan Kudus, Kanjeng Sunan Muria, Kanjeng Sunan Drajat, dan Kanjeng Sunan Geseng.” “Gusti, tindakan apa yang harus dilakukan seandainya dugaan tadi benar?” tanya Pangeran Bayat. “Kanjeng Sunan Giri?” Raden Patah melirik ke arah Sunan Giri. “Hukuman yang pantas dan setimpal bagi penyebar ajaran sesat.
Bentuknya hanya raja yang berhak menentukan.” ujar Sunan Giri. “Baiklah,” Raden Patah mengerutkan keningnya. “Hamba kira hukuman mati sangat pantas….” timpal Pangeran Bayat. “Hukuman apa pun layak diberikan pada orang yang bersalah, sesuai dengan kadar kesalahannya.” sela Sunan Kalijaga, “Saya kira belumlah saatnya kali ini untuk membahas dan memutuskan sebuah bentuk hukuman, sebelum ada kejelasan serta pembuktian.” “Ya, Kanjeng.” Raden Patah menganggukan kepala, “Datangilah dulu! Jika terbukti bawa ke Pusat Kota Demak Bintoro. Barulah kita menjatuhkan hukuman.” lalu menatap pada para utusan yang ditugaskan ke Desa Khendarsawa.
Sore itu matahari tertutup mega hitam, berlapis-lapis. Seakan-akan tatapan matanya yang bersinar sengaja dihalangi untuk menatap padepokan Syekh Siti Jenar. Angin bertiup sangat kencang, mega pekat membumbung dan berputar-putar, semakin cepat. “Lihat, pertanda alam?” Ki Donoboyo yang berada di halaman padepokan bangkit dari duduknya, kepalanya mendongak ke atas. “Apa yang akan terjadi?” Ki Ageng Tingkir mengerutkan keningnya, “Angin puting beliungkah, Syekh?” matanya tertuju pada Syekh Siti Jenar yang berdiri di samping Kebo Kenongo. “Pernahkah kita merusak alam? Menebang pohon sembarangan, membabad batu padas seenaknya?” tatap Syekh Siti Jenar. “Tidak,” “Bahkan sebaliknya kita memakmurkan bumi, Syekh?” tatap Ki Donoboyo, “Sesuai dengan ajaran hamamayu hayuning bawanna…”
“Jika demikian kita tidak perlu takut dimurkai alam…” Syekh Siti Jenar tersenyum, “Puting beliung biasanya menghancurleburkan rumah, dan bangunan. Mungkin saja padepokan yang kita diami….” “Saya kurang paham?” tanya Ki Chantulo, “Apa kaitannya dengan memakmurkan bumi?” “Bukankah beberapa waktu lalu saya pernah menjelaskan hamamayu hayuning bawana?” “Yang kita bicarakan pada waktu itu pertautan jiwa dengan alam, Syekh.” kerut Ki Chantulo, “Sabda alam. Tetapi tadi Syekh mengatakan mungkin saja puting beliung bisa menghancurkan padepokan kita? Mengapa?” “Mungkin disini, bukan berarti akan terjadi, atau tidak sama sekali, bahkan bisa saja terjadi.” ujar Syekh Siti Jenar, “Namun mungkin disini saya tegaskan, kemarahan alam sedahsyat apa pun tidak akan pernah menyentuh padepokan kita.” “Termasuk puting beliung?” tanya Ki Chantulo. “Meskipun rumah penduduk disekitar Desa Khendarsawa porak-poranda?” “Benar, justru akan saya usahakan agar enyah dari Desa Khendarsawa.” “Mengapa, Syekh?” “Bukankah saya sedang menjelaskan hal yang terkait dengan ilmu hamamayu hayuning bawana….” “….” Ki Chantulo dan yang lainnya hanya mengerutkan kening, “Rasanya saya belum paham…” “Memakmurkan bumi?” Kebo Kenongo berujar pelan, “Saya kira bencana akan datang jika bumi dirusak.
Penduduk Desa Khendarsawa akan kekeringan dan kekurangan air pada musim panas, seandainya pohon-pohon besar yang berada disekitar hutannya ditebang habis. Mungkin saja akan terjadi longsor, bahkan bencana lainnya.” lalu menatap gurunya. “Ya, itu sebuah contoh kecil.” ujar Syekh Siti Jenar, “Seandainya kita telah mengamalkan ilmu hamamayu hayuning bawanna, memakmurkan bumi. Tidak akan pernah kita dimurkai alam atau hidup dalam kesusahan.” “Maksudnya?” Ki Donoboyo mengerutkan dahinya. “Alam sebenarnya akan memberikan imbalan pada kita.
Seandainya kita ikut memakmurkan dan memeliharanya…” Syekh Siti Jenar perlahan melangkah, “Lihatlah pohon jambu batu yang di tanam Ki Chantulo itu. Bukankah Ki Chantulo memelihara jambu ini sejak kecil, menanamnya, merawatnya, hingga menghasilkan buah?” “Ya, saya baru mengerti, Syekh.” Ki Chantulo mengagguk-anggukan kepala, “Benar, sekali dengan perawatan dan pemeliharaan saya hingga jambu ini memberikan imbalan pada saya berupa makanan, buah jambu. Saya bisa menikmatinya dan memakannya, saya baru ingat ketika jambu ini berupa bibit. Ya, mengerti.” “Itu salah satu contoh, dimana kita memakmurkan alam…maka alam akan memberi imbalan. Lihatlah para petani dengan jerihpayah menamam padi, lihat pula para petani membuat pematang sawah, menciptakan saluran air dengan teratur, dan memeliharanya.
Sebaliknya rusaklah pohon jambu tadi, tebas dan biarkan merana, biarkan pula padi disawah tidak harus dirawat dan diberi pupuk, biarkan pula saluran air dipenuhi sampah. Apa yang akan terjadi? Memeliharakah pada kita? Murkakah mereka?” “Tentu saja murka, Syekh. Saya paham,” Ki Chantulo mengagguk-anggukan kepala. “Namun selain itu, tadi Syekh bisa mengenyahkan angin puting beliung agar enyah dari Khendarswa?” “Bukankah andika pernah mendengar Kanjeng Nabi Musa membelah lautan. Lantas menjinakkan air laut, sehingga dengan sebilah tongkat kayunya bisa menyebrangi lautan yang terbelah. Lantas Kanjeng Nabi Sulaiman menundukan angin kencang?” “Bukankah itu mukjijat, Syekh?” tatap Ki Chantulo. “Ya, tetapi manusia semacam kita apakah tidak berhak mendapatkannya seandainya Allah menghendaki. Hanya namanya saja bukan mukjijat.” “Tentu saja,”
“Bersandarlah kita pada ke Maha Besaran, ke Maha Gagahan, ke Maha Kuasaannya, ke Maha Perkasaannya….agar hal itu bisa terjadi.” “Bukankah mukjijat tidak bisa kita pelajari?” “Saya tidak mengajarkan untuk mempelajari mukjijat, karena bukan sunnah rassul. Tidak ada perintah untuk mempelajarinya, karena bukan untuk dipelajari. Mukjijat hanya pertolongan Allah semata untuk para Nabi dan Rassul. Mungkin bagi manusia semacam kita ada nama lain, ulama terkadang menyebutnya Kharamah?” “Mengapa bisa muncul Kharamah?” “Ya, karena kita telah aqrab. Juga telah berada dalam tahapan ma’rifat.” “Jika tidak sampai pada tahapan tadi? Masih mungkinkah, Syekh?” “Tentu, asalkan hati kita ikhlas dan berada dalam kasih sayangNya. Meskipun orang tadi tidak sepintar Ki Chantulo.
Bersambung